Nasional

Kesan dan Kenangan Budayawan Ahmad Tohari tentang Gus Dur

Ahad, 27 Maret 2022 | 11:00 WIB

Kesan dan Kenangan Budayawan Ahmad Tohari tentang Gus Dur

Sastrawan Ahmad Tohari (kiri) dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). (Foto: dok Ahmad Tohari)

Banyumas, NU Online
Budayawan dan sastrawan asal Banyumas, Jawa Tengah, Ahmad Tohari menceritakan kesan dan kenangannya terhadap sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ahmad Tohari mengatakan, dirinya, sebagaimana mungkin kesan dan kenangan banyak orang tentang Gus Dur, menganggap Gus Dur itu orang istimewa.

 

Pengarang novel Ronggeng Dukuh Paruk itu menceritakan mulai mengenal Gus Dur, dan kemudian menjadi akrab berawal dari tahun 1981. "Jadi, ya sudah cukup lama perkenalan saya dengan Gus Dur, bukan melalui jalur keagamaan atau jalur ke NU-an," ujar Ahmad Tohari pada tayangan  Persahabatan Ahmad Tohari dengan Gus Dur, diakses Sabtu (26/3/2022).


Lebih lanjut lagi ia menceritakan bahwa pada tahun 1981, novelnya yang berjudul Kubah dinyatakan sebagai novel terbaik oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Berita tentang penghargaan tersebut dimuat di koran.


"Jadi saya kira Gus Dur membaca berita di koran itu, lalu menyuruh orang untuk menghubungi saya, dia bilang ingin bertemu. Maka, kebetulan waktu itu saya sedang bekerja di Harian Merdeka, lalu saya bertemu di PBNU," jelasnya.


Ahmad Tohari merasakan betul wibawa, dan aura kepemimpinan Gus Dur saat bertemu dan kemudian masuk ke ruang kerjanya. Saat itu Gus Dur, kata Tohari, memberikan pujian dan sekaligus menyampaikan kritik-kritik terhadap novel Kubah.

 

Setelah pertemuan pertama tersebut terjalin persahabatan yang akrab antara Gus Dur dengan  Ahmad Tohari.
"Waktu itu saya sudah akrab, dan kantor saya di Majalah Amanah itu dekat dengan PBNU. Lalu ketika ada Munas NU di Situbondo tahun 1983, saya ditawari (Gus Dur) ikut yuk. Nah, karena saya diajak gitu, wong nggak diajak saja saya mestinya berangkat, karena saya kan Redaktur Majalah Amanah yang agama, pasti dikirim ke sana. Nah, tapi karena diajak ya saya ikut rombongan Gus Dur ke sana," ungkapnya.

 

Menurutnya hal tersebut merupakan sesuatu yang istimewa, pasalnya bisa naik pesawat sampai Surabaya, lalu naik bus dari Surabaya ke Situbondo bersama dengan Gus Dur. Pada Munas di Situbondo itulah pertama kalinya, dirinya melihat dinamika di Nahdlatul Ulama.


"Yah, seru sekali, semua orang fasih betul mengupas kitab-kitab kuning sebagai landasan berdiskusi. Berargumentasi itu wah, kiai-kiai sarungan pakai kupluk (peci) ternyata jago-jago semua seperti itu. Saya selalu menjadi orang yang mengelilingi Gus Dur waktu itu," ujarnya.

 

Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Kendi Setiawan