Nasional

Kenapa Perlu Membaca, Menulis, dan Diskusi?

NU Online  ·  Selasa, 22 Maret 2016 | 22:02 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua PBNU, H Syahrizal Syarif mengapresiasi secara positif kegiatan bedah dan diskusi buku, yang digelar Senin (21/3) di kampus STAINU/UNU Indonesia Jakarta, Jl. Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat.

“Membaca itu mempengaruhi, menulis membuat cermat, diskusi membuat siap,” demikian dikatakannya dalam bedah buku Catatan Perut, sebuah buku karya para pegiat Omah Aksoro, komunitas pecinta buku dan sastra yang digagas oleh mahasiswa dan dosen STAINU/UNU Indonesia Jakarta.

Syahrizal mencontohkan membaca dikatakan mempengaruhi, misalnya karya-karya Leo Tolstoy, sastrawan Rusia. Karya-karya Leo Tolstoy, mempengaruhi banyak kosakata bahasa Rusia.  Bahkan sampai ada anggapan, Rusia adalah tiga hal, yaitu raja, gereja Koptik, dan Leo Tolstoy. 

Menulis membuat cermat, menurut Syahrizal karena untuk menghasilkan sebuah tulisan yang baik, seorang penulis harus cermat dengan data-data dan fakta agar isi tulisannya tidak menyimpang dari kebenaran. Tidak terkecuali sastra, karena tulisan sastra, juga merepresentasikan suatu masyarakat pada zamannya.

Adapun diskusi dikatakan membuat lebih siap, karena dalam diskusi terjadi proses menyimak perbedaan-perbedaan pendapat. Orang yang terbiasa mendengar perbedaan pendapat akan siap menghadapi situasi tertentu yang datang mendadak sekalipun.

Oleh sebab itu, Syahrizal sangat mendorong agar kegiatan Omah Aksoro (diskusi, bedah buku, menulis) terus berkesinambungan diadakan. Syahrizal yang berlatar belakang dunia kedokteran (gelar dokter diraihnya dari Universitas Indonesia; dan PhD dari University of Newcastle-Australia) ini membaca novel Grota Azura karya Sutan Takdir Alisjahbana pada saat duduk di kelas satu SMP.

Bedah buku Catatan Perut merupakan salah satu kegiatan dalam rangkaian “1 Tahun Omah Aksoro”. Kegiatan diskusi berlanjut dengan pentas seni berupa pembacaan puisi, pembacan cerpen, stand up comedy, dan khutbah kebudayaan.

Tampil sebagai pengkutbah adalah Dwi Winarno, yang antara lain menyampaikan bahwa peradaban adalah hasil kombinasi dari mereka yang menjadi pecinta dan kurang cinta buku, komposisinya selalu lebih dominan dilakukan oleh mereka yang menicntai buku. Pecinta buku mampu mencampuradukan banyak ide dan mengaduknya dengan ide segarnya. Hasilnya adalah inovasi. Sementara yang kurang cinta, meskipun ada di antaranya terdapat elite yang dibekali insting kecepatan dan ketepatan layaknya ayunan pedang di medan perang, dibutuhkan sebagai follower. (Kendi Setiawan/Abdullah Alawi)