Nasional

Kenapa di Indonesia Banyak Kegiatan Selamatan? Ini Jawaban Agus Sunyoto

NU Online  ·  Senin, 31 Juli 2017 | 06:03 WIB

Jakarta, NU Online
Sejarawan Nahdlatul Ulama KH Ng Agus Sunyoto menyatakan bahwa kata miskin dan fakir itu tidak ditemukan pada bahasa-bahasa lokal kuno; baik bahasa Jawa, Sunda, maupun Melayu kuno. Dua kata tersebut berasal dari Bahasa Arab.

“Bahasa sini tidak dikenal istilah miskin,” kata Kiai Agus saat pada acara silaturahmi kebudayaan di Lantai 8 Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (28/7).

Menurutnya, ketiadaan kosa kata atau yang maknanya serupa dengan miskin karena berkaitan dengan kepemilikan makanan. Sejak kuno, baik desa, dukuh, maupun setiap rumah mempunyai lumbung makanan. Indonesia oleh karenanya berlimpah makanan sehingga mudah berbagi makanan.

“Jadi tradisi tidak bisa dipahami orang Arab yang tidak ada makanan di sana,” katanya.

Ia menjelaskan, sejak lahir, orang Jawa itu sudah mengucapkan syukur kepada Allah, tuhan, ataupun dewa-dewa. Bentuk syukur dengan membagi makanan itu dinamakan brokohan. “Itu langsung, tetangga diundang. Ayo berdoa, makan-makan. Pulang bawa berkat,”katanya.

Selamatan itu, menurutnya, berlanjut sampai 7 hari setelah kelahiran dengan upacara lepas tali puser. Acara kenduri untuk khitan, nikah bahkan sampai meninggal, itu ada makanan.

“Kenapa? Karena kita itu lumbung makanan,” jelasnya.

Oleh karenanya, ia sangat menyayangkan dengan cara pandang orang-orang yang tidak mengetahui sejarah Indonesia. Orang-orang yang yang menggunakan cara pandang Timur Tengah akan menganggap bahwa kegiatan berbagi makanan, atau selamatan itu dianggap bid‘ah dan mubadzir.

“Kalau kita tidak membagi makanan, salah. Wong kita lumbung makanan. Kenapa Indonesia ini beda Islamnya? Karena satu-satunya wilayah yang berlimpah makanan. Apa saja sampai kegiatan seperti ini, pengajian-pengajian. Tidak ada kegiatan yang tidak ada makanan,” terangnya. (Husni Sahal/Alhafiz K)