Nasional

Kaleidoskop 2020: Covid-19 di Pesantren

Kam, 17 Desember 2020 | 00:00 WIB

Kaleidoskop 2020: Covid-19 di Pesantren

Ilustrasi protokol kesehatan pencegahan Covid-19 di pondok pesantren. (NU Online)

Jakarta, NU Online

Indonesia mengkonfirmasi kasus Covid-19 pertama kali pada Senin 2 Maret 2020. Presiden Joko Widodo yang langsung mengumumkan bahwa ada dua orang Indonesia positif terjangkit virus Corona yakni perempuan berusia 31 tahun dan ibu berusia 64 tahun. Sejak itu, kasus positif Covid di tanah air terus mengalami penambahan mulai dari puluhan, ratusan, hingga ribuan terkonfirmasi positif Covid-19 setiap harinya.


Kondisi ini disikapi pemerintah dengan memberlakukan protokol kesehatan bagi masyarakat di berbagai aktivitas khususnya terkait dengan kerumunan yang memiliki potensi besar Covid-19 menular. Berbagai aktivitas komunal juga dibatasi oleh pemerintah termasuk mengambil kebijakan khusus bagi lembaga pendidikan dan pesantren.


Untuk lembaga pendidikan non-asrama, pemerintah memberlakukan kebijakan pembelajaran daring. Sementara untuk lembaga berasrama seperti pesantren, pemerintah memberikan izin untuk tetap menjalankan pembelajaran tatap muka dengan berbagai persyaratan yang diberikan sesuai dengan kenormalan baru (new normal). 


Pada awal merebaknya Covid-19, Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) atau asosiasi pesantren-pesantren di bawah nauangan Nahdlatul Ulama juga telah menerbitkan panduan untuk pesantren-pesantren agar terhindar dari Covid-19. Beberapa poin penting imbauan tersebut seperti semua orang yang masuk ke pesantren, baik guru, tamu, santri, wali santri, harus menerapkan protokol kesehatan dan kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang, terutama masyarakat umum, perlu ditunda untuk sementara waktu.


RMI juga mengimbau pesantren perlu bekerjasama dengan puskesmas, rumah sakit, dan tim medis untuk terus memantau kondisi kesehatan santri, ustadz, dan pengurus pesantren. ‘Ikhtiar langit’ juga diimbau oleh RMI dengan doa seperti membaca qunut nazilah, shalawat tibbil qulub, dan doa tolak bala.


Pemberlakuan new normal di pesantren ini menurut Ketua RMI PBNU KH Abdul Ghaffar Rozin tidak dapat dilakukan jika tidak ada dukungan pemerintah terhadap pesantren. Pemerintah diharapkan mengambil kebijakan yang konkret dan berpihak sebagai wujud keseriusan dalam menjaga pesantren dari risiko penyebaran virus Covid-19. RMI juga meminta pemerintah memberikan dukungan fasilitas kesehatan untuk pemenuhan pelaksanaan protokol kesehatan. 


Selain itu, bentuk dukungan pemerintah juga terkait pemenuhan sarana dan fasilitas pendidikan meliputi fasilitas pembelajaran online bagi santri yang belum bisa kembali ke pesantren dan biaya pendidikan (syahriyah/SPP dan kitab) bagi santri yang terdampak secara ekonomi. 


Hal ini kemudian direspon pemerintah dengan menggelontorkan anggaran sebesar Rp2.599 triliun untuk membantu pesantren dan lembaga pendidikan agama. Dana ini disalurkan melalui Kementerian Agama untuk 21.173 pesantren. Jumlah ini terdiri dari 14.906 pesantren dengan kategori kecil (50-500 santri) dengan bantuan masing-masing sebesar Rp25juta. 


Lalu ada 4.032 pesantren kategori sedang (500-1.500 santri) dengan bantuan sebesar Rp40juta, dan 2.235 pesantren kategori besar dengan santri di atas 1.500 orang dengan bantuan sebesar Rp50juta. Selain pesantren, bantuan juga akan disalurkan sebagai BOP untuk 62.153 Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) yang masing-masing akan mendapat Rp10 juta. Selain itu 112.008 Lembaga Pendidikan Al Qur'an (LPQ) juga akan mendapatkan bantuan sebesar masing-masing Rp10 juta.


Covid-19 Muncul di Pesantren


Kondisi menghangat saat musim kembalinya santri ke pesantren setelah libur pada akhir Juni 2020. RMI PBNU menganjurkan kepada pesantren untuk memperpanjang masa belajar dari rumah. Hal ini karena masih adanya peningkatan kasus atau belum terlihat penurunan kasus Covid-19 secara konstan. Keputusan diambil juga karena melihat mayoritas pesantren yang belum memiliki kemampuan dalam mitigasi dan komunikasi publik. 


Namun bagi pesantren yang tetap ingin memulai pembelajaran secara langsung pada bulan Syawal, yang merupakan bulannya para santri mulai belajar, RMI telah memberikan panduan protokol kesehatan yang bisa dipedomani.


Seiring perkembangan, ternyata Covid-19 akhirnya masuk ke pesantren. Berdasarkan data dari RMI PBNU yang disampaikan Ketua Satgas Penanganan Covid-19, Ulin Nuha, menyebut setidaknya hingga akhir bulan September 2020 sudah ada 35 pesantren yang terpapar Covid-19. Ke-35 pesantren itu terdiri dari pesantren yang memiliki puluhan, ratusan hingga ribuan santri. 


Langkah penanganan pun dilakukan oleh Satuan Koordinasi Nasional Covid-19 Pengurus Pusat RMI dengan gerak cepat. Di antaranya membantu ratusan santri yang terpapar corona virus di Pondok Pesantren Darussalam Blokagung, Banyuwangi, Jawa Timur. 


Santri yang terkonfirmasi positif pun dilakukan karantina secara mandiri di sebuah tenda besar. RMI PBNU juga melakukan komunikasi dengan wali santri agar tidak terjadi kekhawatiran terhadap kondisi Kesehatan santri. Berbagai bantuan kesehatan terus diberikan sehingga berhasil membebaskan santri Pesantren Darussalam dari Covid-19.


Selain kekhawatiran para santri terpapar Covid, ada hal yang juga sangat mengkhawatirkan yakni ikut terinveksinya para ustaz dan pengasuh pesantren. Kondisi ini menjadi keprihatinan lahir dan batin karena sampai akhir Oktober 2020 sudah ada hampir 4.000 santri yang terpapar Covid-19 di 100 pesantren yang ada di Indonesia. 


Pada tahun ini, sudah banyak masyayikh, kiai, dan bu nyai yang meninggal dunia akibat Covid-19. Jika dibandingkan dengan tahun lalu pada periode yang sama, tingkat wafat para kiai lebih banyak pada saat ini. Dalam catatan RMI PBNU, sebanyak 207 pengelola yang terdiri dari pengasuh dan pengurus di 110 pesantren wafat di masa pandemi yang di antara penyebabnya adalah karena terpapar Covid-19. 


“Ini tentu menjadi sebuah kehilangan yang sangat besar sekaligus ancaman serius bagi kalangan pesantren dan juga bangsa Indonesia pada umumnya. Ancaman terhadap pesantren dan kiai berarti ancaman terhadap kelangsungan pendidikan agama dan karakter bangsa Indonesia,” kata Gus Rozin, Kamis (11/12). 


RMI PBNU menilai negara belum hadir secara optimal dalam menangani Covid-19 di pesantren dibuktikan dengan buruknya koordinasi antardinas di pemerintah daerah atau pada lintas kementerian. Sejak adanya Covid-19 di Indonesia, informasi dan edukasi tentang Covid-19 di pesantren sangat terbatas.

 

“Komunikasi publik yang tidak berpihak kepada pesantren khususnya jika ada klaster pesantren dan di beberapa daerah pesantren sulit mengakses swab PCR test,” tuturnya. 


RMI PBNU pun mendorong pemerintah untuk lebih serius lagi dengan pola penanganan secara terpadu. Kementerian Kesehatan diharapkan dapat menjadi lokomotif dengan menggandeng lembaga-lembaga terkait misalnya Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah setempat serta ulama atau lembaga keagamaan yang otoritatif. 


RMI PBNU meminta kepada pemerintah agar arus informasi publik terkait pemberitaan klaster pesantren dapat dikelola dengan baik serta berpihak pada pesantren. Tujuannya, agar pesantren tak terpuruk selama dan setelah pandemi Covid-19 yang disebabkan adanya stigmatisasi Covid-19. 


“Semua ikhtiar ini layak dan penting kita kerjakan bersama-sama demi memastikan masa depan pendidikan akhlak dan karakter bangsa,” tegas Gus Rozin. 


Pewarta: Muhammad Faizin

Editor: Fathoni Ahmad