Nasional

Kafir dan Non-Muslim Hanya Masalah Pemilihan Kata

Sab, 2 Maret 2019 | 07:00 WIB

Kafir dan Non-Muslim Hanya Masalah Pemilihan Kata

KH Misbahul Munir, Wakil Ketua LDNU PBNU

Jakarta, NU Online
Ketua Aswaja Centre Pusat KH Misbahul Munir menjelaskan bahwa istilah kafir dan non-Muslim adalah permasalahan pemilihan kata yang dalam ilmu bahasa dinamakan dengan Diksi. Menurutnya, dalam konteks ke-Indonesia-an pemilihan kata non-Muslim lebih baik dan lebih sejuk.

"Dalam konteks ke-Indonesia-an kita kan sudah sepakat punya rumah besar namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalamnya ada berbagai agama. Kata non-Muslim itu dipilih, saya kira pas itu. Walaupun esensinya bermakna sama," kata Wakil Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) PBNU, Jumat (1/3).

Kiai misbah menegaskan bahwa pemilihan kata dan kalimat itu penting dalam pergaulan dengan sesama manusia. Banyak kata yang memiliki makna sama namun akan berbeda rasa dan menimbulkan kesan negatif ketika digunakan tidak pada tempatnya.

Ia menyontohkan kata "mati". Banyak kata yang memiliki kesamaan arti dengan mati seperti meninggal, wafat, berpulang, mampus dan modar. Jika salah dalam memilih dan menempatkan kata tersebut maka akan bisa berubah rasa.

"(Misalnya) Kalau ayam ya mati. Kalau Kiai wafat. Kalau bajingan menggunakan kata modar," ungkap Pengasuh Pesantren Ilmu Qur'an Al Misbah Jakarta ini dan mengingatkan agar jangan sampai menukar-nukar kata tersebut.

Kata lain seperti makan juga memiliki padanan kata seperti dahar, maem, mbadog dan sebagainya. Penggunaan kata ini harus melihat subjek (pelakunya). Jika tidak maka bisa bernada negatif.

Terkait dengan kata kafir yang memang ada dalam Al-Qur'an ia menegaskan bahwa kata tersebut tidak bisa diganti. Redaksi Al-Qur'an merupakan ketentuan dan tidak bisa dirubah. Dalam Al-Qur'an pun ada kata-kata lain yang lebih yang maknanya sama dan lebih sejuk seperti kalimat Ya Ayuuha Nas (Wahai para manusia) bukan hanya Ya Ayyuhal Kafirun (Wahai orang-orang kafir).

"Pilihan-pilihan ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Dalam konteks ke-Indonesia-an, kata non-muslim lebih sejuk karena kita punya kesamaan namanya ukhuwah wathaniyah yakni persaudaraan satu bangsa dan negara," pungkasnya.

Penjelasan ini menjawab berbagai pendapat dan penafsiran yang sedang viral khususnya di media sosial terkait hasil keputusan Bahtsul Masail Maudluiyah Munas dan Konbes NU 2019 di Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Jawa Barat yang memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia.

Kata kafir seringkali disebutkan oleh sekelompok orang untuk melabeli kelompok atau individu yang bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini, kepada non-Muslim, bahkan terhadap sesama Muslim sendiri.

Hal ini selaras dengan penjelasan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Abdul Muqsith Ghozali yang menyebutkan bahwa pemilihan kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, para kiai menyepakati tidak menggunakan kata kafir, akan tetapi menggunakan istilah muwathinun, yaitu warga negara. Menurutnya, hal demikian menunjukkan kesetaraan status Muslim dan non-Muslim di dalam sebuah negara.

“Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain,” terang Dosen Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu. (Muhammad Faizin)