Nasional

Jenis-Jenis dan Tanda Seseorang Alami Perundungan menurut Psikolog

Ahad, 3 Maret 2024 | 20:30 WIB

Jenis-Jenis dan Tanda Seseorang Alami Perundungan menurut Psikolog

Ilustrasi perundungan. (Foto: dok. NU Online/freepik)

Jakarta, NU Online

Psikolog Pendidikan Asriana Kibtiyah menjelaskan bahwa perundungan terjadi dalam berbagai jenis yakni fisik, verbal, dan psikologis. Sementara perundungan secara fisik, antara lain adalah pemukulan, dorongan, dan kekerasan fisik lainnya. 


Perundungan secara verbal dilakukan dengan ejekan, ancaman, atau penghinaan secara lisan. Sementara perundungan secara psikologis, antara lain dilakukan dengan mengisolasi, mengancam, atau merendahkan secara emosional. 


Asriana menjelaskan, perundungan merupakan perbuatan atau tindakan ketika seseorang berulang kali dan dengan sengaja menggunakan kata-kata atau tindakan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan kesusahan dan membahayakan kesejahteraan mereka. 


Dengan kata lain, perundungan adalah tindakan menyakiti, mengintimidasi, atau merendahkan orang lain secara terus-menerus.


"Anak laki-laki lebih mungkin mengalami perundungan fisik, sedangkan anak perempuan lebih mungkin mengalami perundungan psikologis," jelasnya kepada NU Online, Ahad (3/3/2024).


Menurut Asriana, perundungan harus dicegah sejak dini karena dapat menyebabkan stres, depresi, dan bahkan menyebabkan korban mengalami gangguan kejiwaan. 


Ia menyarankan agar orang dewasa di sekitar anak harus peka terhadap tanda-tanda seseorang mengalami perundungan, seperti perubahan perilaku dan kebiasaan, kerusakan fisik tanpa alasan yang jelas, dan menarik diri dari interaksi sosial. 


"Guru tidak boleh abai atas tanda-tanda ini dan segera merespons dengan cepat," kata perempuan yang akrab disapa Bunda Ana ini.


Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pada umumnya anak-anak yang melakukan intimidasi dalam kasus perundungan biasanya berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, misalnya anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, atau dianggap populer. 


Sementara anak-anak yang paling rentan menghadapi risiko lebih tinggi untuk ditindas, seringkali anak-anak dari komunitas yang terpinggirkan, dari keluarga miskin, dengan identitas gender yang berbeda, penyandang disabilitas atau anak-anak migran dan pengungsi.


"Menyaksikan anak mengalami penderitaan fisik dan emosional akibat penindasan atau penindasan sungguh memilukan, terlebih bila sampai meregang nyawa, instansi pendidikan perlu menyusun sejumlah aturan yang dapat mengatur perilaku siswa dan guru, mempromosikan nilai-nilai keunggulan dan penghormatan pada manusia dan kemanusiaan," imbuhnya.


Dosen Pascasarjana Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng ini menegaskan bahwa fenomena perundungan bisa terjadi di mana saja, bahkan di lembaga pendidikan yang berbasis agama sekalipun. Oleh karenanya, orang dewasa seperti orang tua dan guru harus memahami prosedur penanganan kasus perundungan, baik anak sebagai korban maupun sebagai pelaku.


Terkadang, pelaku perundungan merupakan korban perundungan di masa lalu. Rasa sakit yang terpendam memberikan motivasi untuk melakukan hal yang sama kepada orang lain yang lebih lemah darinya.


"Sebagian orang tua, bahkan guru, tidak yakin harus mulai dari mana untuk membantu melindungi anak-anak dari perundungan dan kekerasan yang lazim disebut bullying. Sebagian orang  mungkin tidak tahu apakah anak-anak mereka bagian korban, orang yang hanya menonton peristiwa bullying, atau bahkan menjadi pelaku yang berbahaya," tandasnya.