Nasional

Jelang Debat Cawapres, Pakar Agraria Sorot Kebijakan Kapital, Ketimpangan Pemilikan dan Konflik Tanah

Rab, 17 Januari 2024 | 11:00 WIB

Jelang Debat Cawapres, Pakar Agraria Sorot Kebijakan Kapital, Ketimpangan Pemilikan dan Konflik Tanah

Cawapres 2024 Abdul Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming, dan Moh Mahfud MD. (Ilustrasi: NU Online/Aceng)

Jakarta, NU Online

Persoalan Lingkungan dan Agraria akan menjadi salah satu tema debat keempat untuk cawapres dalam acara yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Ahad, 21 Januari 2024 mendatang.


Sejarawan Agraria, Ahmad Nashih Luthfi, menyoroti permasalahan agraria yang semakin meruncing akibat kebijakan pembangunan kapital. Kebijakan tersebut dinilai menjauhkan masyarakat dari hak kewargaan agraria, mengakibatkan konflik, dan kriminalisasi terhadap pemilik tanah. 


"Kebijakan yang ada selama ini makin menjauhkan dari hak-hak kewargaan agraria (agrarian citizenship) bahwa tanah dan pangan adalah hak," kata Anas, sapaan akrabnya kepada NU Online, Selasa (21/1/2024).


Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Yogyakarta ini menekankan pentingnya merumuskan kebijakan pembangunan dari bawah, terutama dalam aspek tenurial tanah, untuk mencegah penguasaan dan hak atas tanah menjadi korban.


"Seharusnya, jika ingin merumuskan pembangunan harus berangkat dari bawah dari tenurial," ungkapnya, menyoroti pentingnya mempertimbangkan hak-hak tenurial dalam perencanaan pembangunan.


Kriminalisasi pemilik tanah

Anas juga menyoroti dampak dari kebijakan tersebut terhadap konflik agraria, di mana pemilik tanah seringkali dianggap sebagai pelaku kriminal.


"Mereka yang mempertahankan tanahnya atau menuntut hak atas tanah tidak dilihat sebagai warga, melainkan dipersekusi sebagai pelaku kriminal (dikriminalisasi)," terangnya.


Anas menilai pengakuan dan pencatatan tanah masyarakat sebagai langkah penting dalam melindungi hak-hak atas tanah. Ini harus dilakukan bukan sebagai bagian dari kerangka investasi, melainkan sebagai upaya perlindungan hak.


"Mengakui dan mendaftarkan tanah masyarakat menjadi penting untuk melindungi tanah-tanah mereka dalam kerangka perlindungan hak atas tanah," jelasnya.


Kasus di berbagai tempat, seperti Wadas dan Kendeng mencerminkan pengabaian terhadap kewargaan agraria, berdampak pada konflik dan kriminalisasi pemilik tanah. 


"Kasus di berbagai tempat ini mencerminkan beberapa hal di atas berurutan sekaligus: pembangunan proyek strategis nasional (PSN) ditentukan dari atas, land tenure rakyat jadi korban, konflik, masyarakat mempertahankan/menuntut tanah dipersekusi/dikriminalisasi," ungkap Anas.


Ketimpang pemilikan tanah

Ketimpangan pemilikan tanah, terutama di perkotaan, menjadi isu krusial yang memunculkan pertanyaan seputar pengakuan hak atas tanah, penanganan konflik tanpa kriminalisasi, penguatan kewargaan agraria, dan solusi ketimpangan pemilikan tanah. 


Ada yang terus diberi konsesi, difasilitasi kepemilikan tanahnya secara luas. Sebaliknya ada yang tidak punya tanah dan dibiarkan. Utamanya generasi milenial dan gen Z dihadapkan pada kesulitan memiliki rumah. Gentrifikasi dan kepemilikan tanah perkotaan cenderung konsentrasi pada pemilik kuat.


"Terjadi gentrifikasi, tatkala tanah-tanah perkotaan satu demi satu jatuh ke pemilik kuat dan menyingkirkan peluang generasi baru apalagi yang tidak mampu: mengalami multiple discrimination (generasi dan kelas)," ucapnya.


Dalam konteks inilah, debat cawapres diharapakan menyoroti kebijakan dan solusi yang harus diambil. Beberapa poin yang menjadi fokus pertanyaan adalah mengenai pengakuan hak atas tanah warga, penanganan konflik agraria tanpa kriminalisasi, penguatan kewargaan agraria, penanggulangan ketimpangan pemilikan tanah, dan kebijakan untuk memastikan hak tempat tinggal generasi milenial di perkotaan.


Data menunjukkan, persentase penduduk Indonesia di perkotaan terus meningkat, mencapai 56,7 persen pada 2020, dengan proyeksi mencapai 63,4 persen pada 2030. Beberapa daerah dengan populasi perkotaan terbesar termasuk DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Bali.


Sebagai contoh, penguasaan cadangan tanah di Jakarta oleh 35 perusahaan pengembang swasta saat ini mencapai 35.468,06 hektar, setara dengan 53,55 persen wilayah kota Jakarta. Diperkirakan tanah tersebut dapat menampung 1.773.402 rumah dan 7.625.630 orang atau seperempat populasi DKI Jakarta.