Nasional

Jelang Debat Capres Kelima, Sarbumusi Sorot Problem Hubungan Industrial dan Upah Minimum

Ahad, 4 Februari 2024 | 10:30 WIB

Jelang Debat Capres Kelima, Sarbumusi Sorot Problem Hubungan Industrial dan Upah Minimum

Sekjen Sarbumusi NU Syaefuddin Ahrom Al-Ayubbi (kiri) saat mengisi kegiatan bersama Presiden Sarbumusi Irham Ali Saifuddin (kanan). (Foto: dok. Sarbumusi)

Jakarta, NU Online

Debat capres kelima dilaksanakan di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Ahad (4/2/2024) pukul 19.00 WIB. Debat yang diperuntukan untuk calon presiden ini salah satunya mengangkat tema ketenagakerjaan


Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Syaefuddin Ahrom Al-Ayubbi mengatakan bahwa bicara mengenai ketenagakerjaan tidak dapat dilepaskan dari hubungan industrial, terutama di sektor formal. 


Ketika berbicara tentang hubungan industrial, dia menyatakan keinginan agar pemerintah memfasilitasi dialog sosial antara pekerja dan perusahaan. Hal ini bertujuan untuk, misalnya, menemukan solusi-solusi ketika terjadi masalah dalam hubungan industrial. 


Menurutnya, pemerintah seharusnya berperan sebagai mediator dalam menangani perselisihan antara pekerja dan pengusaha yang terjadi, terutama ketika perusahaan-perusahaan nakal tidak memberikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh pekerja. Hal ini dilakukan dengan cara memfasilitasi penyelesaian masalah tersebut.


"Harapannya sebenarnya pemerintah ini mendorong dialog sosial itu untuk bagaimana kemudian ketika terjadi perselisihan ini bisa diselesaikan di dalam perusahaan. Istilahnya kalau dalam dunia ketenagakerjaan itu, bipartit jadi antara pengusaha dengan serikat pekerja," ujarnya pada NU Online, Kamis (1/2/2024).


Dia menyatakan bahwa fakta yang terjadi di lapangan kadang mengalami kebuntuan. Menurutnya, pemerintah harus tegas dalam menjalankan aturan-aturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Contohnya, ketika ada perusahaan yang bersikap nakal dan tidak mau mematuhi atau mengikuti regulasi yang ada, perusahaan tersebut harus ditegur atau menerima surat atau nota tentang kepengawasan.


"Anjuran, himbauan, itu harus dilakukan oleh pemerintah. Nah kalau ini menjelang debat pemilihan presiden, penting bagi pemerintah untuk terus mendorong terjadinya hubungan dialog sosial antara perusahaan dengan serikat pekerja, itu yang pertama," 


Ia menyatakan bahwa selanjutnya perlu untuk memperkuat posisi serikat pekerja. Menurutnya, selama ini serikat pekerja selalu berada di bawah dalam relasi hubungan industrial. Dia berpendapat bahwa idealnya hubungan antara pengusaha dan serikat pekerja seharusnya setara. Namun, menurutnya, fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa hubungan serikat pekerja tidak setara.


Paradigma tersebut, menurutnya, perlu dikembalikan atau dinaikkan levelnya, sehingga serikat pekerja bukan hanya bagian dari biaya produksi tetapi dianggap sebagai aset bagi perusahaan dalam meningkatkan produktivitasnya.


"Nah, yang ketiga dalam konteks misalnya hubungan industrial sebisa mungkin segala sesuatu jangan sampai masuk ke pengadilan, kalau misalnya bisa diselesaikan dengan cara bipartit, selesaikan, kalau nggak harapannya bipartit, tidak usah pengadilan," ujarnya.


Sementara itu terkait dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang baru dirumuskan oleh pemerintah. Menurutnya, kemarin telah muncul Peraturan Pemerintah (PP) 36 mengenai upah minimum, dan pemerintah telah membagikan formula yang menurutnya cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan upah minimum di setiap kabupaten dan kota bergantung pada kontribusi sektor ketenagakerjaan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.


"Cuman sayangnya dalam rumusnya kan ada varian alfa, varian alfa ini tergantung kontribusinya seberapa jauh dan itu didasarkan pada survei BPS. Nah, survei BPS ini terkadang, yang namanya survei kan tidak akurat. Artinya memang ini berbeda dengan yang dulu," ujarnya.


Dia menjelaskan bahwa upah minimum sebagai standar minimal, seharusnya tidak dijadikan patokan. Dia berharap bahwa jika perusahaan mampu membayar lebih tinggi dari upah minimum, seharusnya hal tersebut dilakukan.


"Penentuan upah minimum itu menurut saya memang harus dikembalikan lagi yang dulu, jadi ada survei pasar, terus kemudian survei kebutuhan pokok. Sekarang bayangin DKI naik 100 ribu, belum bayar kos, makan, operasional sehari-hari mungkin dikatakan tidak cukup," jelasnya.


Ia menyatakan pandangannya bahwa pembahasan mengenai upah minimum tidak hanya berkaitan dengan seberapa tinggi perusahaan membayar pekerja. Menurutnya, pekerja juga harus mempertimbangkan keberlangsungan usaha.


"Sebenarnya menurut saya nggak masalah upah kita itu rendah gitu, tetapi pemerintah harus menjamin misalnya biaya transportasi dari sekolah ke rumah gratis, kemudian biaya sekolah gratis, BBM terjangkau, sembako terjangkau, saya kira itu nggak masalah. Harapannya seperti itu," pungkasnya.