Jakarta, NU Online
Dalam kajian kitab Ihya' Ulumuddin, cendekiawan muda NU, Ulil Abshar Abdalla menceritakan ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah saw tentang akhlak yang baik. Mendengar hal tersebut, Rasulullah saw menjawab dengan QS Al A'raf ayat 199.
"Pertama, ambillah sifat memaafkan. Kedua, perintahlah kepada sesuatu yang baik. Dan ketiga wa'arid anil jahilin, abaikan orang-orang yang bodoh berbuat yang tidak menyenangkan," jelas Ulil pada Kopdar Ihya dan Halal bi Halal di kampus Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Ahad (8/7) malam.
Dengan demikian, seorang Muslim tidak boleh terlalu memedulikan dan menuruti perasaannya."Kita dilarang baper kepada orang-orang yang bodoh," ujar Ulil.
Selain itu, dalam hal akhlak yang baik, lanjut Ulil, Nabi Muhammad saw juga menjelaskan ada tiga hal yang akan menjadikan seorang Muslim mempunyai standar moral yang tinggi. Pertama, adalah menyambung silaturahim kepada orang yang memutus silaturahim.
"Kedua, memberi kepada orang yang tidak mau memberi apa-apa kepadamu. Dan terakhir, memaafkan orang yang mendzalimi diri kita," tambahnya.
(Baca: Cara Mendeteksi Hati Berpenyakit Menurut Ihya Ulumuddin)
Ulil mengatakan seorang Muslim harus sadar ada tuntutan moral tersebut. Kalaupun tidak mencapai standar tersebut, setidak-tidaknya sudah berusaha. "Yang menjadi masalah adalah kita tidak sampai ke situ. Menganggap biasa jika kejahatan itu dibalas dengan kejahatan, itu natural. Tapi kita dituntut untuk berlaku supranatural," terangnya lebih lanjut.
Sebagaimana di dalam Al-Qur'an sering menyebut insan kamil. Insan kamil adalah orang yang bisa melampaui kondisi naturalnya.
Keadaan memaafkan orang yang berbuat dzalim, hanyalah berlaku antarperseorangan, tidak berlaku untuk sistem atau penguasa yang dzalim. "Ini hukum berlaku antar person. Tapi kalau yang melakukan kedzaliman adalah sistem (kekuasaan). Kita juga tidak bisa diam dan harus melawan," terangnya.
Ulil menyebutkan Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak. Artinya Nabi itu diutus untuk menaikkan kualitas akhlak manusia, bukan menjadikan manusia menjalankan syariat pada awalnya. "Jadi, budi pekerti yang baik adalah salah satu ornamen penting untuk beribadah yang baik, bukan semakin beragama semakin nyebelin," pungkasnya. (Rifatuz Zuhro/Kendi Setiawan)