ISNU: Integrasi Imtak-Imtek Jalan Sutra Kebangkitan Indonesia
NU Online · Jumat, 9 November 2012 | 10:51 WIB
Jakarta, NU Online
Indonesia tengah ditimbang sebagai salah satu kandidat pemimpin peradaban dunia ke depan karena dia negeri muslim demokratis terbesar di dunia dan tengah melaju sebagai salah satu raksasa perekonomian dunia. <>
Kehadiran Indonesia sebagai negara Muslim demokratis terbesar di dunia menandai dua hal. Pertama, Islam dan demokrasi terbukti bukan antitesis sebagai dikemukakan Samuel P Huntington. Kedua, Islam bukan agama yang menolak kemajuan dan pembangunan. Karena itu, Indonesia harus menyongsong pendar-pendar cahaya kebangkitan ini dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berimtak dan beriptek.
Hal ini dikemukakan oleh Ali Masykur Musa, ketua umum PP ISNU dalam diskusi panel ahli putaran kelima di Kantor PBNU, Jakarta (9/11).
Dikatakan Ali Masykur Musa bahwa Islam adalah agama yang mendorong umatnya meraih dan mengusahakan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat. Dan syarat untuk mencapai dua kebahgiaan tersebut, sebagai ditegaskan Rasulullah, adalah ilmu pengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan juga harus disertai akhlak dan moral agama untuk membimbing percapaian ilmu pengetahuan itu ke arah kemaslahatan manusia. Kerena itu, wahyu yang pertama kali turun adalah surat al-Alaq (QS 96) yang dimulai dengan perintah “Bacalah!” dan wahyu kedua adalah surat al Qalam (QS 68) dimulai dengan huruf tunggal Nun.
Wahyu pertama melambangkan dorongan untuk mengejar ilmu setinggi-tingginya. Wahyu kedua melambangkan kearifan moral dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa setinggi apa pun ilmu manusia, dia tidak bisa memastikan arti dan rahasia dari satu huruf saja: Nun. Karena itu, menurut Ali Masykur, pengintegrasiam iman dan takwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan teknologi (iptek) mutlak untuk mencapai kebangkitan peradaban sebagaimana dicontohkan generasi Islam masa lampau.
Pada abad ke-7 hingga 13 M, Islam menghasilkan tokoh-tokoh besar seperti al Kindi, al Farabi, Ibn Sina al Razi dan Ibn Rushd karena mereka menggabungkan nalar kecendekiaan dan keimanan dalam satu tarikan nafas yang disebut dengan ‘hikmah’. Pada masa itu belum berlaku ‘sekulerisasi’ yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum karena para filsuf Muslim adalah sekaligus ahli agama dan ahli ilmu umum seperti Jabir al Hayyan, bapak kimia modern Al Fazari, dan al Farghani, keduanya ahli matematika dan astronomi yang banyak dirujuk para penulis Eropa; al Kindi, filsuf Muslim pertama yang banyak sekali menerjemahkan karya filsafat Yunani. Masih banyak ilmuwan Islam lain yang memberi kontribusi besar pada peradaban dunia.
Namun, sejak umat Islam dilanda ‘sekulerisasi” yang membeda-bedakan antara ilmu agama dan ilmu umum, umat Islam kini tertinggal dibanding umat lain yang tekun mempelajari warisan para filsuf Muslim masa lampau di bidang geometri, geografi, astronomi, algoritma dan inovasi lain. Islam tertinggal dari Barat dari minimnya penemuan keilmuan dan inovasi sains teknologi dari umat Islam karena mereka kehilangan khazanah masa lalunya sehingga gagap menyongsong masa depannya.
“Sekulerisasi ilmu pengetahuan harus dihentikan dengan mengintegrasikan kembali semangat imtak-iptek, itulah jalan sutra kebangkitan peradaban Indonesia,” kata Ali Masykur.
Redaktur: Mukafi Niam
Terpopuler
1
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
2
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
3
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Terkait Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
Khutbah Jumat: Meraih Hikmah Kurban di Hari Raya Idul Adha
Terkini
Lihat Semua