Nasional

Ini Alasan Gerakan Radikal Kerap Hadir di Kampus

Ahad, 20 Oktober 2019 | 03:00 WIB

Ini Alasan Gerakan Radikal Kerap Hadir di Kampus

Seminar nasional di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Hasanuddin, Pare, Kediri. (Foto: NU Online/Ika)

Kediri, NU Online
KH Ali Maschan Moesa sangat berharap agar acara pelantikan Presiden dan  Wakil Presiden Joko Widodo  dan KH  Ma’ruf Amin berjalan aman dan lancar. Sehingga duet  presiden dan wakil pilihan rakyat itu bisa segera melaksanakan tugas negara sesuai dengan harapan masyarakat.
 
“Semoga pelantikan bisa berjalan dengan aman dan damai. Tanpa gangguan-gangguan,’’kata Wakil Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) ini, Sabtu (19/10).
 
Harapan itu disampaikan  saat menjadi pembicara pada acara seminar nasional  dengan tema Memperkuat Akidah Alussunah wal Jamaah serta  Menangkal Radikalisasi di Kampus
 
Kegiatan diselenggarakan Dewan Mahasiswa (Dema) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Hasanuddin, Pare, Kediri di Graha Kartika Hotel Surya. 
 
Selain dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, juga hadir menjadi pembicara Komandan Corps Provost Banser Nasional, Imam Kusnin Ahmad dan Ustadz David Fuadi, Ketua Pengurus Cabang Aswaja NU Center Kabupaten Kediri. 
 
Terkait radikalisme, menurut kiai yang juga Rektor Universitas Islam Kadiri (Uniska) tersebut mengemukakan, benihnya sudah ada sejak masa sahabat Utsman RA dan Sayyidina Ali. Yakni saat adanya demo gabungan yang mengakibatkan khalifah ketiga itu terbunuh, dengan tuduhan  nepotisme. 
 
Kemudian saat  kepemipinan Sayyidina Ali bin Abu Thalib. Beliau terbunuh oleh Ibnu Mulzam, seorang yang dangkal agama, meski hafidz  al-Qur’an dan ahli ibadah. 
 
“Alasan membunuh karena dia beranggapan bahwa Ali dalam menentukan hukum tidak pakai hukum Allah. Namun memakai kesepakatan dan musyawarah bersama sahabat yang lain,” ungkap kiai yang pernah menjadi Ketua PWNU Jatim tersebut.
 
“Inilah awal petaka bagi umat Islam yang ujungnya hingga saat ini,” katanya. 
 
Dalam pandangannya, saat ini banyak lahir generasi Ibnu Muzam yang sangat  radikal. 
 
“Untuk itu adik-adik mahasiswa harus tahu dan waspada dengan kehadiran kelompok mereka. Sebab mereka mau melakukan apa saja termasuk memfitnah pimpinan negara dan sesama umat Islam,’’ terangnya.
 
Sementara Imam Kusnin Ahmad di kesempatan yang sama menyatakan bahwa radikalisme kini tidak pandang bulu. Bukan lagi menyasar masyarakat dalam kondisi status tertentu, tetapi juga menyerang anak muda di lingkup pendidikan. Bahkan beberapa dosen di kampus kenamaan dan perguruan tinggi ternama terkena dampak radikalisme.
 
“Bila hal ini terus dibiarkan, kita hanya akan melihat kerukunan antarumat beragama, kebinekaan dan nilai Pancasila sebagai cerita masa lalu. Jika sampai terjadi, betapa menyedihkannya sekaligus mengerikan,” jelasnya.
 
Agar tidak menyesal, mahasiswa tidak bisa lagi skeptis atau masa bodoh dengan keadaaan di sekitarnya. 
 
“Percaya atau tidak, bayang-bayang radikalisme kerap hadir di lingkungan kampus kita. Indoktrinasi paham radikal dilakukan dalam berbagai cara,” tegas Ketua Pengurus Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kabupaten Blitar ini.
 
Ia katakan, mahasiswa adalah target potensial penyebaran radikalisme. Hal di atas semakin menegaskan bahwa kampus sudah menjadi ladang subur tumbuhnya radikalisme dan tentunya hal ini suatu ancaman besar bagi kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. 
 
Dalam banyak kasus, bidikan dari pengusung radikalisme adalah mahasiswa yang polos, atau tidak memiliki latar keagamaan yang kuat. Kepolosan ini yang kemudian dimanfaatkan memberikan doktrin keagamaan yang monolitik, kaku, dan jauh dari kontekstualisasi.
 
“Melihat kondisi di atas, peran dan fungsi organisasi keagamaan seperti NU  dan organisasi keagamaan di kampus seperti  PMII amatlah penting  untuk menetralisir dan mencegah bertumbuhnya paham radikal,” terang mantan Kasatkorwil Banser Jatim ini. 
 
Mengapa harus NU? Sebab NU sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia telah membuktikan kepada khalayak sebagai pemegang Islam yang moderat. Karakter NU ini tidak terlepas dari paham Ahlussunah wal Jamaah yang menjadi pijakan NU dalam berdialektika. 
 
Salah satu ciri ajaran Ahlusunnah wal Jamaah yang dipraktikkan NU adalah sikap at-tawasuth dan at-tawazun (jalan tengah dan keseimbangan). 
 
Sementara itu, Ustadz Dafid Fuadi yang menjadi pembicara terakhir menyampiakan bahwa  perkembangan paham radikal yang masuk ke dunia kampus saat ini adalah suatu ancaman yang serius bagi eksistensi Pancasila di masa depan. 
 
Mengingat mahasiswa merupakan golongan intelektual yang punya akses lebih besar untuk mengambil posisi strategis. Oleh sebab itu, diperlukan pencegahan paham radikal berupa peran dan fungsi serta kerja sama antarorganisasi keagamaan kampus untuk menetralisir paham yang bertentangan dengan Pancasila, serta peran aktif warga dan secara khusus warga NU dan dunia pesantren.
 
Untuk menyuarakan nilai Pancasila, pemerintah hendaknya membuat cetak biru kebijakan nasional dalam merestorasi nilai Pancasila ke kalangan terpelajar. 
 
“Demikian pula pembersihan kampus dan tempat ibadah dari organisasi dan paham radikal, serta pemberian sanksi yang tegas terhadap organisasi yang berupaya menggantikan Pancasila,” tandasnya.
    
Acara dibuka Ketua STAI Hasanuddin Pare, KH Harun Kusaiyin.
 
 
Kontributor: Ika
Editor: Ibnu Nawawi