Nasional

Ideologi Radikal Berkembang karena Arogansi Barat

NU Online  ·  Sabtu, 27 September 2014 | 03:01 WIB

Jakarta, NU Online
Negara-negara Barat harus menyadari bahwa sebab utama ideologi radikal tumbuh dan berkembang pesat, salah satunya adalah karena arogansi Barat, yang berusaha melakukan hegemoni politik, ideologi dan ekonomi secara massif di dunia Islam.
<>
Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali menyampaikan hal tersebut pada acara peluncuran buku karyanya, Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya, di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat malam (26/9/2014).

“Satu contohnya adalah membiarkan isu Palestina dan Isu Yerusalem (Al Aqhsa) tidak terselesaikan. Padahal di situlah ‘emosi’ umat Islam mudah terprovokasi untuk keuntungan radikalisme,” katanya.

Menurut As’ad, penting disadari bahwa gerakan jihadis dan gerakan-gerakan ideologis Islam radikal lainnya, kelahirannya juga dirangsang oleh, dan sebagai respon atas, kekecewaan yang mendalam terhadap negerinya, yang dinilai telah terseret ke dalam situasi amoral, sekuler, libertarianisme dan semakin jauh dari cita-cita masyarakat teokratis.

Menghadapi situasi baru tersebut, para penyelenggara negara dan kaum intelektual di dunia Islam dituntut kecerdasannya. Sistem politik di negeri-negeri muslim yang sekarang ini ada, yang dibangun di atas gagasan negara-bangsa, harus mampu merespon secara kreatif berbagai perkembangan baru yang muncul.

“Pembangunan ekonomi, modernisasi dan demokratisasi, harus dikelola sedemikian rupa untuk menghindarkan jebakan yang tidak diinginkan, yakni lahirnya gerakan jihadis,” tambahnya.

Menurutnya, dalam pengalaman negara-negara muslim, kita ketahui masih banyak yang belum berhasil membangun sistem politik yang  dapat menggabungkan secara harmonis antara gagasan negara-bangsa dengan ajaran Islam. Barangkali baru sebagian saja yang berhasil. Itupun masih dalam proses, di antaranya adalah Indonesia dan sejumlah kecil negara Arab.

“Indonesia adalah contoh unik, bagaimana para ulama mazhab, mazhab maslahat, khususnya NU, Muhammdiyah dan ormas lainnya, bersama tokoh-tokoh nasionalis, Muslim maupun Non-Muslim, mampu merumuskan suatu dasar negara yang secara esensial sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama,” paparnya.

Bahkan, imbuh As’ad, asas Pancasila merupakan sebuah rumusan cerdas mengatasi problem dikotomis, sekuler versus  teokrasi, yang dihadapi dunia Islam saat itu. Meski demikian, negara-negara yang relatif berhasil itupun kini dihadapkan dengan tantangan-tantangan barunya.

Hadir dalam peluncuran buku tersebut mantan tokoh dan pendiri Jamaah Islamiyah Mesir Najih Ibrahim Abdullah, mantan Kepala Badan Intelijen Nasional Hendropriyono, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, serta para tokoh dan cendekiawan lainnya. Acara disusul bedah buku oleh pengamat politik dan pengaji Timur Tengah Fachri Ali, Rektor UIN Jakarta Komaruddin Hidayat, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar. (Mahbib Khoiron)

Ideologi Radikal Berkembang karena Arogansi Barat

Jakarta, NU Online

Negara-negara Barat harus menyadari bahwa sebab utama ideologi radikal tumbuh dan berkembang pesat, salah satunya adalah karena arogansi Barat, yang berusaha melakukan hegemoni politik, ideologi dan ekonomi secara massif di dunia Islam.

Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali menyampaikan hal tersebut pada acara peluncuran buku karyanya, Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya, di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat malam (26/9/2014).

“Satu contohnya adalah membiarkan isu Palestina dan Isu Yerusalem (Al Aqhsa) tidak terselesaikan. Padahal di situlah ‘emosi’ umat Islam mudah terprovokasi untuk keuntungan radikalisme,” katanya.

Menurut As’ad, penting disadari bahwa gerakan jihadis dan gerakan-gerakan ideologis Islam radikal lainnya, kelahirannya juga dirangsang oleh, dan sebagai respon atas, kekecewaan yang mendalam terhadap negerinya, yang dinilai telah terseret ke dalam situasi amoral, sekuler, libertarianisme dan semakin jauh dari cita-cita masyarakat teokratis.

Menghadapi situasi baru tersebut, para penyelenggara negara dan kaum intelektual di dunia Islam dituntut kecerdasannya. Sistem politik di negeri-negeri muslim yang sekarang ini ada, yang dibangun di atas gagasan negara-bangsa, harus mampu merespon secara kreatif berbagai perkembangan baru yang muncul.

“Pembangunan ekonomi, modernisasi dan demokratisasi, harus dikelola sedemikian rupa untuk menghindarkan jebakan yang tidak diinginkan, yakni lahirnya gerakan jihadis,” tambahnya.

Menurutnya, dalam pengalaman negara-negara muslim, kita ketahui masih banyak yang belum berhasil membangun sistem politik yang  dapat menggabungkan secara harmonis antara gagasan negara-bangsa dengan ajaran Islam. Barangkali baru sebagian saja yang berhasil. Itupun masih dalam proses, di antaranya adalah Indonesia dan sejumlah kecil negara Arab.

“Indonesia adalah contoh unik, bagaimana para ulama mazhab, mazhab maslahat, khususnya NU, Muhammdiyah dan ormas lainnya, bersama tokoh-tokoh nasionalis, Muslim maupun Non-Muslim, mampu merumuskan suatu dasar negara yang secara esensial sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama,” paparnya.

Bahkan, imbuh As’ad, asas Pancasila merupakan sebuah rumusan cerdas mengatasi problem dikotomis, sekuler versus  teokrasi, yang dihadapi dunia Islam saat itu. Meski demikian, negara-negara yang relatif berhasil itupun kini dihadapkan dengan tantangan-tantangan barunya.

Hadir dalam peluncuran buku tersebut mantan Kepala Badan Intelijen Nasional Hendropriyono, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, serta para tokoh dan cendekiawan lainnya. Acara disusul bedah buku oleh pengamat politik dan pengaji Timur Tengah Fachri Ali, Rektor UIN Jakarta Komaruddin Hidayat, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar. (Mahbib Khoiron)

 

 

Ideologi Radikal Berkembang karena Arogansi Barat

Jakarta, NU Online
Negara-negara Barat harus menyadari bahwa sebab utama ideologi radikal tumbuh dan berkembang pesat, salah satunya adalah karena arogansi Barat, yang berusaha melakukan hegemoni politik, ideologi dan ekonomi secara massif di dunia Islam.

Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali menyampaikan hal tersebut pada acara peluncuran buku karyanya, Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya, di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat malam (26/9/2014).

“Satu contohnya adalah membiarkan isu Palestina dan Isu Yerusalem (Al Aqhsa) tidak terselesaikan. Padahal di situlah ‘emosi’ umat Islam mudah terprovokasi untuk keuntungan radikalisme,” katanya.

Menurut As’ad, penting disadari bahwa gerakan jihadis dan gerakan-gerakan ideologis Islam radikal lainnya, kelahirannya juga dirangsang oleh, dan sebagai respon atas, kekecewaan yang mendalam terhadap negerinya, yang dinilai telah terseret ke dalam situasi amoral, sekuler, libertarianisme dan semakin jauh dari cita-cita masyarakat teokratis.

Menghadapi situasi baru tersebut, para penyelenggara negara dan kaum intelektual di dunia Islam dituntut kecerdasannya. Sistem politik di negeri-negeri muslim yang sekarang ini ada, yang dibangun di atas gagasan negara-bangsa, harus mampu merespon secara kreatif berbagai perkembangan baru yang muncul.

“Pembangunan ekonomi, modernisasi dan demokratisasi, harus dikelola sedemikian rupa untuk menghindarkan jebakan yang tidak diinginkan, yakni lahirnya gerakan jihadis,” tambahnya.

Menurutnya, dalam pengalaman negara-negara muslim, kita ketahui masih banyak yang belum berhasil membangun sistem politik yang  dapat menggabungkan secara harmonis antara gagasan negara-bangsa dengan ajaran Islam. Barangkali baru sebagian saja yang berhasil. Itupun masih dalam proses, di antaranya adalah Indonesia dan sejumlah kecil negara Arab.

“Indonesia adalah contoh unik, bagaimana para ulama mazhab, mazhab maslahat, khususnya NU, Muhammdiyah dan ormas lainnya, bersama tokoh-tokoh nasionalis, Muslim maupun Non-Muslim, mampu merumuskan suatu dasar negara yang secara esensial sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama,” paparnya.

Bahkan, imbuh As’ad, asas Pancasila merupakan sebuah rumusan cerdas mengatasi problem dikotomis, sekuler versus  teokrasi, yang dihadapi dunia Islam saat itu. Meski demikian, negara-negara yang relatif berhasil itupun kini dihadapkan dengan tantangan-tantangan barunya.

Hadir dalam peluncuran buku tersebut mantan Kepala Badan Intelijen Nasional Hendropriyono, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, serta para tokoh dan cendekiawan lainnya. Acara disusul bedah buku oleh pengamat politik dan pengaji Timur Tengah Fachri Ali, Rektor UIN Jakarta Komaruddin Hidayat, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar. (Mahbib Khoiron)