Nasional

Hingga Kini, Sejumlah Sikap Politik NU Kerap Disalahartikan

NU Online  ·  Ahad, 28 Januari 2018 | 13:05 WIB

Surabaya, NU Online
Kalau memperhatikan perjalanan perpolitikan di Tanah Air, ada sejumlah sikap NU yang dimaknai berbeda, bahkan cenderung negatif. Padahal keselamatan bangsa yang lebih luas adalah yang menjadi pertimbangan utama.

Demikian sejumlah catatan yang mengemuka pada diskusi sekaligus bedah buku Kaidah Fikih Politik, Perayaan Demokrasi dan Politik Kebangsaan, Sabtu (27/1). Narasumber yang dihadirkan adalah Syaikhul Islam Ali selaku penulis buku, Arif Afandi, Masdar Hilmy, Ma’ruf Khozin, serta Riadi Ngasiran sebagai moderator. 

Mengutip apa yang disampaikan KH D Zawawi Imron, Arif Afandi mengemukakan bahwa Indonesia adalah sajadah yang tidak boleh dikotori oleh darah, kebohongan dan perilaku negatif yang lain.

“Para Indonesianis selalu membaca pemikiran politik para kiai, khususnya Gus Dur,” katanya. Dan hadirnya buku ini akan mampu menjelaskan bagaimana sikap para kiai NU ketika menyikapi sejumlah peristiwa politik,” kata mantan Wali Kota Surabaya ini. 

Bahkan tidak sedikit yang menilai bahwa NU sebagai kelompok oportunis. “Bagi saya, sikap yang ditampilkan kiai NU selama ini bukanlah oportunis, melainkan elastis,” tandas Arif. Artinya, kelenturan sikap yang diambil demi menyelamatkan kepentingan umat, lanjutnya.

Kerasnya memegang prinsip perjuangan demikian ditunjukkan para politisi NU saat berhadapan dengan kalangan Islam modernis maupun skripturalis. “Yang dilakukan NU selama ini adalah menggerakkan tradisi, bukan malah mentradisikan gerakan,” ulasnya.

Sedangkan Masdar Hilmy memaknai politik yang digagas NU meniru filosofi garam. “Para kiai dan santri cukup  melakukan perubahan rasa tanpa mengubah warna,” katanya. Itu juga yang dilakukan garam saat memberikan cita rasa bagi masakan yang disajikan.

“Saat NU mengakui Soekarno sebagai presiden, itu bukan dalam semangat mencari keuntungan, akan tetapi menyelamatkan dan menjaga keseimbangan bangsa,” kata guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tersebut.

Hal yang sama disampaikan KH Ma’ruf Khozin. Bahwa hampir seluruh pendiri NU pernah melakukan studi di Arab Saudi dan Timur Tengah. “Tapi mengapa tidak terbesik keinginan dari para muassis atau pendiri NU tersebut untuk menjadikan Indonesia seperti Arab,” kata aktivis Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jatim ini.

Bagi Kiai Ma’ruf, kelebihan lain dari para kiai dan ulama NU saat menentukan keputusan khususnya tentang politik kebangsaan adalah tanpa harus menabrak syariat. “Apa yang dilakukan para kiai dan ulama demikian sangat hati-hati,” ungkapnya.

Diskusi ini terselenggara sebagai mata rangkai peringatan 40 tahun Majalah AULA yang diterbitkan PWNU Jatim sejak 1978. Seiring dengan perkembangan, media kebanggan warga NU tersebut, kini berada di bawah menejemen PT AULA Media Nahdlatul Ulama. Bahkan tahun ini telah menerbitkan AulaNisa yang menyasar segmen pembaca perempuan pesantren. (Ibnu Nawawi)