Nasional

Hari Santri, Komitmen untuk Angkat Harkat dan Martabat Santri

NU Online  ·  Kamis, 22 Oktober 2015 | 10:30 WIB

Jakarta, NU Online
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan penetapan Hari Santri merupakan komitmen pemerintah untuk mengangkat harkat dan martabat kaum santri yang selama ini termarginalkan. 
<>
“Pemerintah saat ini ingin mengubah peran santri dari sekadar obyek komoditas politik untuk menjadi subyek penggerak pembangunan dan kemajuan Indonesia,” katanya saat memberikan sambutan di Istiqlal, Selasa (22/10).

Ia menyatakan sejumlah langkah telah dimulai seperti peningkatan mutu pendidikan Islam, pemberdayaan pesantren dan penguatan ekonomi umat. Kementerian agama telah bekerjasama dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) agar pesantren mendapat perhatian yang layak dalam program pendidikan dan peningkatan kapasitas SDM. 

“Pemerintah mengupayakan agar para santri dan lulusan pendidikan Islam memiliki daya saing yang lebih tinggi di tengah kompetisi global. Sebab, mereka adalah modal besar bangsa Indonesia untuk memanfaatkan bonus demografi, dalam kurun waktu sekarang hingga satu dasawarsa mendatang,” tandasnya.

Ia menegaskan, Islam ala santri merupakan Islam yang moderat dan realistis, yang bercirikan penegakan keadilan, keseimbangan, dan toleran. 

“Islam ala santri merujuk pada dakwah ala Walisongo di bumi Nusantara yang membumikan akulturasi budaya, penyelarasan konteks waktu dan kondisi lingkungan serta kemaslahatan bersama. Islam ala santri adalah Islam rahmatan lil alamiin yang mampu beradaptasi dan berdialog dengan budaya lokal dengan kebiasaan dan cara berpikir masyarakat Indonesia yang majemuk,” tuturnya. 

Dengan definisi yang dikemukakannya, Menag tidak mengartikan santri secara sempit sebagai kaum sarungan yang belajar dan mengembangkan ilmu di pondok pesantren. 

“Secara luas, santri dimaknai sebagai umat Islam Indonesia yang mengamalkan ajaran Islam sesuai konteksnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.”

Ditegaskannya, pencanangan Hari Santri pada hakekatnya adalah penegasan bahwa Indonesia adalah negara demokratis sekaligus religius sehingga mendorong kesadaran kolektif pentingnya mempertahankan religiusitas Indonesia yang moderat ditengah percaturan pengaruh ideologi agama yang cenderung ekstrim. 

Perkokoh eksistensi elemen bangsa

Ia berharap dengan ditetapkannya Hari Santri ini, mampu memperkokoh eksistensi semua elemen bangsa agar saling berkontribusi mewujudkan masyarakat Indonesia yang bermartabat, berkemajuan, berkesejahteraan, berkemakmuran dan berkeadilan. 

Ia mengibaratkan Hari Santri sebagaimana penggunaan nama hijriah dalam penanggalan Islam. Tanggal itu untuk memperingati hijrah, yang mempertemukan kaum Muhajirin dari Makkah dan kaum Ansor yang merupakan penghuni Madinah. 

“Penduduk Madinah atau kaum Ansor tidak mempersoalkan momentum itu disebut Hijriyah, sebaliknya momentum itu menghasilkan persaudaraan dan persahabatan yang luar biasa sehingga kedua belah pihak saling berkontribusi membangun masyarakat madani yang kemudian menjadi contoh ideal peradaban dunia,” tandasnya. 

Belajar dari sejarah itulah, ia menegaskan pemerintah layak memberikan apresiasi bagi perjuangan kaum santri yang secara nyata bagi terbentuknya dan terjaganya Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Menag juga menyatakan, Resolusi Jihad yang menjadi dasar penetapan Hari Santri telah melebur sekat kelompok agamis, nasionalis, sosialis, dan kelompok yang lain di kalangan bangsa Indonesia yang beragam latar belakangnya. 

“Resolusi Jihad telah menyeimbangkan spirit kualitas individu yang bersifat vertikal dengan kepentingan bersama yang bersifat horizontal atau hablum minannas melalui fatwa ulama yang mendudukkan sikap nasionalisme sebagai bagian dari sikap religius.”

Ditambahkannya, intisari jihad, yakni melawan penindasan fisik dan non fisik. Yang menghalangi terwujudnya negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dalam konteks sekarang, jihad itu berarti membebaskan diri dari kebodohan, korupsi, anarkisme, ketimpangan ekonomi dan sebagainya yang menghalangi kemajuan Indonesia. 

“Semangat itulah yang sesungguhnya melatarbelakangi pengusulan hari santri.” (Mukafi Niam)