Nasional Harlah 94 NU

Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Mata Santrinya Berusia 96 Tahun

Sab, 15 April 2017 | 00:34 WIB

Purworejo, NU Online

Di sebuah dusun yang tenang dan damai, bernama Brunosari, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, tinggal seorang kakek berusia hampir seabad. Ia merupakan sedikit di antara murid langsung Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari–sang pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam terbesar di Indonesia–yang kini masih tersisa.

Dalam suasana Hari Lahir (Harlah) NU ke-94 pada 16 Rajab 1438 Hijriah ini, reporter Ahmad Naufa Khoirul Faizun dan juru kamera Ahmad Nasuhan menemuinya, dan mengulasnya khusus untuk Anda, pembaca setia NU Online.

Untuk menuju kediamannya, kita akan disuguhi pemandangan hijau nan asri. Perbukitan yang tak henti-hentinya bergandeng-gandeng mesra begitu menyejukkan mata. Juga pemandangan para petani yang mengolah sawah, pencari rumput ternak dan suasana alam pedesaan yang jauh dari ingar-bingar kota. Dengan memakai sepeda motor, kediamannya dapat ditempuh satu jam perjalanan dari kota.

Sebelum menemukan alamat pastinya, kami menemui Kiai Mahmud Ali, mantan Ketua GP Ansor Anak Cabang Bruno, yang kebetulan sedesa dengan beliau. “Daya ingatnya masih luar biasa, tak seperti orang seumurannya,” ungkap Mahmud Ali, berkomentar tentang sosok santri Kiai Hasyim Asy’ari. Setelah diberi informasi, kami bergerak menuju rumahnya.

Ketika kami menemuinya, sang kakek yang bernama KH Abdurahman Bajuri itu datang sendiri ke ruang tamu, tanpa dipapah. Ia memakai kopiah putih, batik dan sarung cokelat. Di usianya yang renta, kesehatan fisiknya seakan lebih muda dari umurnya. Usai bersalaman–mencium  tangannya–kami disilakan duduk kembali. Dengan nada datar, ia menanyakan maksud dan tujuan kedatangan kami. “Di hari ulang tahun Nahdlatul Ulama ini, kami ingin menggali lebih dalam tentang sosok KH Hasyim Asy’ari,” jawab kami.

Setelah kami berkenalan ala kadarnya, kemudian ia memperkenalkan diri dan bercerita tentang sosok gurunya. “Saya lahir tahun 1921, Mas, masuk Pesantren Tebuireng tahun 1938 sampai keluar pas zaman kemerdekaan (1945). Namun saya sempat berhenti setahun, pulang, ketika Jepang masuk,” ujarnya, mengenang masa silam. Kini usia kakek yang ada dihadapan kami ini 95 tahun, hampir genap 96 tahun, sebuah usia yang panjang untuk ukuran sekarang.

“Kiai Hasyim itu orangnya sabar, tak pernah marah. Kalaupun harus marah karena ada santri yang berbuat kesalahan, beliau marah sambil ternyum,” tutur Kiai Bajuri.

Beliau pun melanjutkan cerita. “Pada awalnya, Kiai Hasyim setiap Pon (salah satu nama lekatan hari dalam penanggalan Jawa– pen) pergi ke pasar untuk jualan sapi, ngajinya libur. Sampai-sampai, kalau libur, santri-santri menamainya dengan istilah Pon. Namun ketika saya disana, Kiai Hasyim sudah kaya, mobilnya sudah dua. Padahal ketika itu orang Jawa masih jarang yang punya mobil,” terang Kiai Abdullah.


“Uang beliau pun banyak, seakan datang sendiri tiap kali panen. Uangnya belum seperti sekarang, tapi berbentuk koin, ditaruh di kaleng-kaleng. Uang-uang itu, yang menghitung sekitar lima santri, dihamparkan di serambi rumah ketika dihitung. Saya melihatnya sendiri. Beliau sukses dalam bertani gabah, jagung dan ketela. Santri, jika ingin, tinggal ambil sendiri,” kenangnya.

“Pada waktu itu (1938), santri mukim (yang metetap-pen) di Pesantren Tebuireng baru sekitar 1500-an. Ada santri khusus kiai yang jumlahnya 600-700 tiap bulan Rajab sampai 25 Ramadhan. Sedangkan 15 Sya’ban sampai 15 Syawwal libur, diisi santri luar dari seluruh Indonesia. Ada dari Madura, Bawean, Lombok, Bima dll. Yang dibaca adalah kitab Shahih Bukhori-Muslim,” ungkap Kiai Bajuri.

“Kiai-kiai se-Nusantara yang 600-700 itu, urusannya tidak hanya ngaji kitab Bukhori-Muslim. Kalau siang ngaji, dan malamnya dikumpulkan secara bergiliran 150-150, karena aula atas tidak muat waktu itu. Rapatnya tertutup, dijaga oleh beberapa santri. Yang memimpin Mbah Wahab Chasbullah dan diisi oleh Mbah Hasyim. Ini dilakukan selama saya di sana, sampai Indonesia merdeka (1938–1945). Mungkin sebelum saya disana juga sudah seperti itu. Acaranya doa bersama, mujahadah, istighosah dan shalat tahajjud,” terangnya, membuat kami semakin penasaran.

Mendengarnya ada ritual tersebut, saya jadi teringat paparan Kiai Muwaffiq dalam Mukernas BEM PTNU di Jogjakarta, 2009 silam. “Mbah Hasyim Asy’ari, ketika membikin Nahdlatul Ulama, meyakinkan dirinya, untuk shalat hajat selama hidup, sampai meninggal, dengan shalat hajat dua rakaat, demi NU dan umat. Jadi, tiap malam dulu beliau shalat dua rakaat dan mendoakan. Cuma rakaat pertama yang dibaca 41x Surat at-Taubah, dan rakaat kedua yang dibaca 41x Surat al-Kahfi. Ini untuk ngetes: sanggup nggak dirinya kalau memperjuangkan Islam,” tuturnya. Apakah ritual bersama para kiai ini yang Gus Muwaffiq maksud, atau yang Mbah Hasyim lakukan sendiri dikamar, saya belum mendapat kejelasan.

Sesekali, kakek yang menurut Mahmud Ali setiap jumat masih rajin mengisi pengajian rutin di Masjid Ismailiyyah–yang tak jauh dari kediamannya–ini menyilakan kami minum teh dan hidangan yang disajikan di meja. Sambil merekan dan mencatat, kami bertanya: apa isi forum tertutup dalam suasana penjajahan itu, selain berdoa? Beliau kembali mengingatnya.

“Lima orang santri berjaga di jalan dan pintu. Semua serba tertutup. Karena penasaran, suatu ketika sewaktu berjaga, saya pernah pura-pura tiduran: menempelkan telinga dibawah pintu. Saya mendengar Mbah Hasyim berpidato di depan para kiai se-Nusantara itu: ‘Jika Indonesia tidak merdeka, Islam tidak akan subur’. Selain itu, saya tidak berani lagi menguping, takut ketahuan, bisa dihukum karena itu sangat rahasia,” terangnya. Ternyata, selain usaha batin, melangitkan doa, juga ada propaganda anti-penjajahan, memupuk spirit islam dan nasionalisme sebagai perlawanan. Semakin nyatalah, bahwa semenjak dahulu, para ulama NU berjuang untuk kemerdekaan Indonesia–baik secara lahir maupun batin–tak mempertentangkan Islam dengan nasionalisme, seperti yang marak dewasa ini.

“Tokoh-tokoh pergerakan nasional sering sowan kepada Mbah Hasyim. Saya pernah mengetahui Bung Karno sowan tiga kali. Kalau Bung Tomo nggak bisa dihitung, saking seringnya. Ketika hendak menurunkan bendera Jepang di Gedung Agung Surabaya, Bung Tomo sebelumnya juga sowan,” katanya.

“Beliau meniatkan diri berjihad, mengunggulkan dan meneruskan agama. Meski dipenjara oleh penjajah Belanda, dan paling lama Jepang, beliau tetap ayem (tenang), sabar, tidak bersedih hati,” tutur Kiai Bajuri, mengenang sosok gurunya. “Yang bagian mengeluarkan (Kiai Hasyim dari penjara) adalah Mbah Wahab,” katanya.

Dalam buku Antologi NU, dijelaskan bahwa pada tahun 1942, karena menolak Saikere, Kiai Hasyim dipenjara oleh fasisme Jepang selama empat bulan, dengan waktu berpindah-pindah: dari penjara Jombang, Mojokerto, hingga Bubutan Surabaya, membaur dengan tawanan Sekutu. Beliau dipenjara Dai Nippon itu akhir April 1942 sampai 18 Agustus 1942.

Dari kesaksian saksi sejarah ini menginformasikan banyak hal: bahwa Kiai Hasyim sosoknya tetap tenang, sabar dan tak sedih, meskipun dipenjara dan di siksa, keyakinan dan prinsipnya kokoh, tak takut, tak goyah melawan musuh. Dan entah mengapa, saya kemudian teringat sebuah ayat Al-Quran, yang intinya bahwa para wali Allah itu tak pernah memiliki rasa takut, tidak pula bersedih hati: Alaa inna auliyaallah la khaufun ‘alaihim walaa hum yahzanuun (QS. Yunus: 62).

KH Hasyim Asy’ari, menurut Kiai Bajuri, pengaruhnya sangat besar, baik di kalangan umum maupun kiai. “Beliau jadi ketua apa-apa tidak pernah yang namanya pemilihan, istilah sekarang aklamasi, termasuk ketika berdirinya NU. Kalau sudah ada Mbah Hasyim, semua sudah tidak berani. MIAI (NU, Muhammadiyah, PSII dll) juga aklamasi, dua kali berturut-turut. Kemudian Masyumi,” terangnya.

Pesan-pesan Mbah Hasyim
Kemudian saya penasaran, adakah pesan-pesan tertentu Kiai Hasyim kepada para santrinya, khususnya yang pernah di dengar oleh santri beliau ini? Jawabannya ada. Diantara pesannya kepada para santri adalah himbuan untuk tidak kebanyakan jajan dan makan. “Koe ning kene lak ngaji, luru ilmu. Nek balik lak ditakokke. Ngerti yo? (Kamu di sini ngaji, menuntut ilmu. Ketika pulang kan akan ditanyakan. Tahu ya maksud saya?” ungkapnya, menirukan nasihat Kiai Hasyim.

“Beliau juga sering berpesan, ‘Nek moco kitab ati-ati, sing ngarang sinten (Kalau baca kitab hati-hati, lihat siapa pengarangnya)’”, imbuhnya. Pesan ini nampak sederhana, namun masih sangat relevan sampai sekarang, dimana banyak orang (ter) sesat karena membaca tulisan di internet, buku atau kitab yang salah, tergiur judul atau sampulnya, lebih-lebih tak ada arahan dari guru.

Ada lagi, ”Kowe suk luruo duit nggo ngangkat derajat agomo, ojo agomo nggo luru duit (kamu kelak carilah uang untuk mengangkat derajat agama, jangan jadikan agama untuk mencari uang)”. Dewasa ini, kita tentu banyak menyaksikan wanti-wanti Kiai Hasyim ini, dimana industri motivasi, spiritual dan ayat-ayat tumbuh bak jamur di musim hujan.

Diberbagai kesempatan, menurut beliau, Kiai Hasyim juga sering berpesan untuk senantiasa takut, bertaqwa kepada Allah. Terakhir, pesan yang masih direkam oleh beliau, sosok yang diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Bung Karno itu berpesan, “Sregepo nuduhke wong-wong marang barang kang mbejaake dunyo lan akhirat (jadilah orang yang memberitahukan orang lain pada hal-hal yang memberi kemanfaatan di dunia dan akhirat)”.

Dalam kesempatan itu, beliau juga bercerita suasana politik pasca-kemerdekaan, dimana Indonesia diuji oleh berbagai pemberontakan, salah satunya PKI di Madiun.

“Peristiwa 48 itu yang dibunuh pertama kali kiai, dari Madura sampai Termas (Pacitan). Kiai Termas ada 6 yang dibunuh. Saya tahu, karena guru saya termasuk: Gus Habib Termas. Orang  beliau itu tidak apa-apa kok dibunuh, padahal kita tidak sedang perang terbuka atau perang tentara. Saya empat kali ikut perang melawan PKI. Yang ampuh ketika itu menantu Mbah Hasyim, Kiai Idris Cirebon. Di tubuhnya, pedang tidak mempan,” ungkapnya, memberi kesaksian.

Paham NU Tidak Radikal
Kemudian kami menanyakan sosok Kiai Hasyim ketika ada di mimbar. Tentang hal ini, Kiai Bajuri punya jawaban tersendiri. “Mbah Hasyim tidak bisa ceramah, dalam artian tidak seperti orator ulung yang disukai para jamaah. Beliau orangnya lugu, lempeng, lurus kalau berceramah. Seperti khotbah jumat.  Meski begitu, tiap kali beliau dipanggil ke panggung, semua orang langsung fokus, yang sedang ngopi di warung ditinggal untuk mengikuti pengajian beliau,” tuturnya.

Tak hanya itu, Kiai Bajuri juga menginformasikan ayat yang sering dikutip oleh Sang Kiai dalam forum-forum ulama pesantren. “NU itu tidak radikal. Mbah Hasyim sering mengutip surat Ali Imrān sebagai pedomannya,” tuturnya, dilanjutkan melafaldkan dengan fasih barisan kalam Tuhan yang berusia lebih dari 14 abad lalu.

Fabimā rahmatim minallāh linta lahum, walau kunta fadzdzann ‘ghalidzal qalbi la angfaddhuu min chaulika, fa’fu ‘anhum wastaghfirlahum wasyāwirhum fil amri, faizā ‘azamta fatawakkal ‘alallāh, innallāha yuhibbul mutawakkiliin;

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal. (Ali Imrān: 159)

“Kalau dakwahnya keras, orang bisa lari. Walau disalahkan-salahkan seperti apa, Mbah Hasyim tidak jengkel. Mereka (yang menyalah-nyalahkan) kan tidak atau belum tahu,” tegasnya.

Kalau dalam pidato-pidato untuk orang umum di lapangan besar seperti di Jombang, Kediri, Pare, beliau sering mengutip Surat Al-A’raf.

Walau anna ahlal qurāā āmanuu wattaqauu lafatahnā ‘alaihim barakātim minassamāāi wal ardli walākin kazzabuu faakhadznāhum bimā kānuu yaksibuun.

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka seseuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A’raf: 96)

Tak terasa, sudah satu jam setengah kami bertamu di sore itu. Kami baru menyadari, diluar sudah terdengar gemuruh hujan. Meski begitu, tak enak jika terlalu lama dengan beliau yang telah berusia senja. Kami pamit, mohon undur diri meski membelah hujan yang mengguyur jalanan. Sebelum kami pulang, beliau sempat berpesan, entah itu menerjemahkan pemikiran Kiai Hasyim, pesan untuk kami atau menyoroti fenomena jihad dewasa ini, kami tidak tahu. Dari dan untuk ntuk siapapun pesan itu, yang penting kami tulis disini.

“Jihad itu bi amwa likum (dengan harta kalian) dan angfusikum (diri, pertaruhan jiwa kalian). Jihad nabi dulu membawa pedang, jihad hari ini pedangnya pena,” pungkasnya. (Ahmad Naufa/Abdullah Alawi)