Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Mata Santrinya Berusia 96 Tahun
Purworejo, NU Online
Di
sebuah dusun yang tenang dan damai, bernama Brunosari, Kecamatan Bruno,
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, tinggal seorang kakek berusia hampir
seabad. Ia merupakan sedikit di antara murid langsung Hadratussyekh KH
Hasyim Asy’ari–sang pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam
terbesar di Indonesia–yang kini masih tersisa.
Dalam suasana
Hari Lahir (Harlah) NU ke-94 pada 16 Rajab 1438 Hijriah ini, reporter Ahmad
Naufa Khoirul Faizun dan juru kamera Ahmad Nasuhan menemuinya, dan
mengulasnya khusus untuk Anda, pembaca setia NU Online.
Untuk
menuju kediamannya, kita akan disuguhi pemandangan hijau nan asri.
Perbukitan yang tak henti-hentinya bergandeng-gandeng mesra begitu
menyejukkan mata. Juga pemandangan para petani yang mengolah sawah,
pencari rumput ternak dan suasana alam pedesaan yang jauh dari
ingar-bingar kota. Dengan memakai sepeda motor, kediamannya dapat
ditempuh satu jam perjalanan dari kota.
Sebelum menemukan alamat
pastinya, kami menemui Kiai Mahmud Ali, mantan Ketua GP Ansor Anak
Cabang Bruno, yang kebetulan sedesa dengan beliau. “Daya ingatnya masih
luar biasa, tak seperti orang seumurannya,” ungkap Mahmud Ali,
berkomentar tentang sosok santri Kiai Hasyim Asy’ari. Setelah diberi
informasi, kami bergerak menuju rumahnya.
Ketika kami menemuinya,
sang kakek yang bernama KH Abdurahman Bajuri itu datang sendiri ke ruang
tamu, tanpa dipapah. Ia memakai kopiah putih, batik dan sarung cokelat.
Di usianya yang renta, kesehatan fisiknya seakan lebih muda dari
umurnya. Usai bersalaman–mencium tangannya–kami disilakan duduk
kembali. Dengan nada datar, ia menanyakan maksud dan tujuan kedatangan
kami. “Di hari ulang tahun Nahdlatul Ulama ini, kami ingin menggali
lebih dalam tentang sosok KH Hasyim Asy’ari,” jawab kami.
Setelah
kami berkenalan ala kadarnya, kemudian ia memperkenalkan diri dan
bercerita tentang sosok gurunya. “Saya lahir tahun 1921, Mas, masuk
Pesantren Tebuireng tahun 1938 sampai keluar pas zaman kemerdekaan
(1945). Namun saya sempat berhenti setahun, pulang, ketika Jepang
masuk,” ujarnya, mengenang masa silam. Kini usia kakek yang ada
dihadapan kami ini 95 tahun, hampir genap 96 tahun, sebuah usia yang
panjang untuk ukuran sekarang.
“Kiai Hasyim itu orangnya sabar,
tak pernah marah. Kalaupun harus marah karena ada santri yang berbuat
kesalahan, beliau marah sambil ternyum,” tutur Kiai Bajuri.
Beliau
pun melanjutkan cerita. “Pada awalnya, Kiai Hasyim setiap Pon (salah
satu nama lekatan hari dalam penanggalan Jawa– pen) pergi ke pasar
untuk jualan sapi, ngajinya libur. Sampai-sampai, kalau libur,
santri-santri menamainya dengan istilah Pon. Namun ketika saya disana,
Kiai Hasyim sudah kaya, mobilnya sudah dua. Padahal ketika itu orang
Jawa masih jarang yang punya mobil,” terang Kiai Abdullah.
“Uang beliau
pun banyak, seakan datang sendiri tiap kali panen. Uangnya belum seperti
sekarang, tapi berbentuk koin, ditaruh di kaleng-kaleng. Uang-uang itu,
yang menghitung sekitar lima santri, dihamparkan di serambi rumah
ketika dihitung. Saya melihatnya sendiri. Beliau sukses dalam bertani
gabah, jagung dan ketela. Santri, jika ingin, tinggal ambil sendiri,”
kenangnya.
“Pada waktu itu (1938), santri mukim (yang
metetap-pen) di Pesantren Tebuireng baru sekitar 1500-an. Ada santri
khusus kiai yang jumlahnya 600-700 tiap bulan Rajab sampai 25 Ramadhan.
Sedangkan 15 Sya’ban sampai 15 Syawwal libur, diisi santri luar dari
seluruh Indonesia. Ada dari Madura, Bawean, Lombok, Bima dll. Yang
dibaca adalah kitab Shahih Bukhori-Muslim,” ungkap Kiai Bajuri.
“Kiai-kiai
se-Nusantara yang 600-700 itu, urusannya tidak hanya ngaji kitab
Bukhori-Muslim. Kalau siang ngaji, dan malamnya dikumpulkan secara
bergiliran 150-150, karena aula atas tidak muat waktu itu. Rapatnya
tertutup, dijaga oleh beberapa santri. Yang memimpin Mbah Wahab
Chasbullah dan diisi oleh Mbah Hasyim. Ini dilakukan selama saya di
sana, sampai Indonesia merdeka (1938–1945). Mungkin sebelum saya
disana juga sudah seperti itu. Acaranya doa bersama, mujahadah,
istighosah dan shalat tahajjud,” terangnya, membuat kami semakin
penasaran.
Mendengarnya ada ritual tersebut, saya jadi teringat
paparan Kiai Muwaffiq dalam Mukernas BEM PTNU di Jogjakarta, 2009 silam.
“Mbah Hasyim Asy’ari, ketika membikin Nahdlatul Ulama, meyakinkan
dirinya, untuk shalat hajat selama hidup, sampai meninggal, dengan
shalat hajat dua rakaat, demi NU dan umat. Jadi, tiap malam dulu beliau
shalat dua rakaat dan mendoakan. Cuma rakaat pertama yang dibaca 41x
Surat at-Taubah, dan rakaat kedua yang dibaca 41x Surat al-Kahfi. Ini
untuk ngetes: sanggup nggak dirinya kalau memperjuangkan Islam,”
tuturnya. Apakah ritual bersama para kiai ini yang Gus Muwaffiq maksud,
atau yang Mbah Hasyim lakukan sendiri dikamar, saya belum mendapat
kejelasan.
Sesekali, kakek yang menurut Mahmud Ali setiap jumat
masih rajin mengisi pengajian rutin di Masjid Ismailiyyah–yang tak
jauh dari kediamannya–ini menyilakan kami minum teh dan hidangan yang
disajikan di meja. Sambil merekan dan mencatat, kami bertanya: apa isi
forum tertutup dalam suasana penjajahan itu, selain berdoa? Beliau
kembali mengingatnya.
“Lima orang santri berjaga di jalan dan
pintu. Semua serba tertutup. Karena penasaran, suatu ketika sewaktu
berjaga, saya pernah pura-pura tiduran: menempelkan telinga dibawah
pintu. Saya mendengar Mbah Hasyim berpidato di depan para kiai
se-Nusantara itu: ‘Jika Indonesia tidak merdeka, Islam tidak akan
subur’. Selain itu, saya tidak berani lagi menguping, takut ketahuan,
bisa dihukum karena itu sangat rahasia,” terangnya. Ternyata, selain
usaha batin, melangitkan doa, juga ada propaganda anti-penjajahan,
memupuk spirit islam dan nasionalisme sebagai perlawanan. Semakin
nyatalah, bahwa semenjak dahulu, para ulama NU berjuang untuk
kemerdekaan Indonesia–baik secara lahir maupun batin–tak
mempertentangkan Islam dengan nasionalisme, seperti yang marak dewasa
ini.
“Tokoh-tokoh pergerakan nasional sering sowan kepada Mbah
Hasyim. Saya pernah mengetahui Bung Karno sowan tiga kali. Kalau Bung
Tomo nggak bisa dihitung, saking seringnya. Ketika hendak menurunkan
bendera Jepang di Gedung Agung Surabaya, Bung Tomo sebelumnya juga
sowan,” katanya.
“Beliau meniatkan diri berjihad, mengunggulkan
dan meneruskan agama. Meski dipenjara oleh penjajah Belanda, dan paling
lama Jepang, beliau tetap ayem (tenang), sabar, tidak bersedih hati,”
tutur Kiai Bajuri, mengenang sosok gurunya. “Yang bagian mengeluarkan
(Kiai Hasyim dari penjara) adalah Mbah Wahab,” katanya.
Dalam
buku Antologi NU, dijelaskan bahwa pada tahun 1942, karena menolak
Saikere, Kiai Hasyim dipenjara oleh fasisme Jepang selama empat bulan,
dengan waktu berpindah-pindah: dari penjara Jombang, Mojokerto, hingga
Bubutan Surabaya, membaur dengan tawanan Sekutu. Beliau dipenjara Dai
Nippon itu akhir April 1942 sampai 18 Agustus 1942.
Dari
kesaksian saksi sejarah ini menginformasikan banyak hal: bahwa Kiai
Hasyim sosoknya tetap tenang, sabar dan tak sedih, meskipun dipenjara
dan di siksa, keyakinan dan prinsipnya kokoh, tak takut, tak goyah
melawan musuh. Dan entah mengapa, saya kemudian teringat sebuah ayat
Al-Quran, yang intinya bahwa para wali Allah itu tak pernah memiliki
rasa takut, tidak pula bersedih hati: Alaa inna auliyaallah la khaufun
‘alaihim walaa hum yahzanuun (QS. Yunus: 62).
KH Hasyim Asy’ari,
menurut Kiai Bajuri, pengaruhnya sangat besar, baik di kalangan umum
maupun kiai. “Beliau jadi ketua apa-apa tidak pernah yang namanya
pemilihan, istilah sekarang aklamasi, termasuk ketika berdirinya NU.
Kalau sudah ada Mbah Hasyim, semua sudah tidak berani. MIAI (NU,
Muhammadiyah, PSII dll) juga aklamasi, dua kali berturut-turut. Kemudian
Masyumi,” terangnya.
Pesan-pesan Mbah Hasyim
Kemudian saya
penasaran, adakah pesan-pesan tertentu Kiai Hasyim kepada para
santrinya, khususnya yang pernah di dengar oleh santri beliau ini?
Jawabannya ada. Diantara pesannya kepada para santri adalah himbuan
untuk tidak kebanyakan jajan dan makan. “Koe ning kene lak ngaji, luru
ilmu. Nek balik lak ditakokke. Ngerti yo? (Kamu di sini ngaji, menuntut
ilmu. Ketika pulang kan akan ditanyakan. Tahu ya maksud saya?”
ungkapnya, menirukan nasihat Kiai Hasyim.
“Beliau juga sering
berpesan, ‘Nek moco kitab ati-ati, sing ngarang sinten (Kalau baca kitab
hati-hati, lihat siapa pengarangnya)’”, imbuhnya. Pesan ini nampak
sederhana, namun masih sangat relevan sampai sekarang, dimana banyak
orang (ter) sesat karena membaca tulisan di internet, buku atau kitab
yang salah, tergiur judul atau sampulnya, lebih-lebih tak ada arahan
dari guru.
Ada lagi, ”Kowe suk luruo duit nggo ngangkat derajat
agomo, ojo agomo nggo luru duit (kamu kelak carilah uang untuk
mengangkat derajat agama, jangan jadikan agama untuk mencari uang)”.
Dewasa ini, kita tentu banyak menyaksikan wanti-wanti Kiai Hasyim ini,
dimana industri motivasi, spiritual dan ayat-ayat tumbuh bak jamur di
musim hujan.
Diberbagai kesempatan, menurut beliau, Kiai Hasyim
juga sering berpesan untuk senantiasa takut, bertaqwa kepada Allah.
Terakhir, pesan yang masih direkam oleh beliau, sosok yang diberi gelar
Pahlawan Nasional oleh Bung Karno itu berpesan, “Sregepo nuduhke
wong-wong marang barang kang mbejaake dunyo lan akhirat (jadilah orang
yang memberitahukan orang lain pada hal-hal yang memberi kemanfaatan di
dunia dan akhirat)”.
Dalam kesempatan itu, beliau juga bercerita
suasana politik pasca-kemerdekaan, dimana Indonesia diuji oleh berbagai
pemberontakan, salah satunya PKI di Madiun.
“Peristiwa 48 itu
yang dibunuh pertama kali kiai, dari Madura sampai Termas (Pacitan).
Kiai Termas ada 6 yang dibunuh. Saya tahu, karena guru saya termasuk:
Gus Habib Termas. Orang beliau itu tidak apa-apa kok dibunuh, padahal
kita tidak sedang perang terbuka atau perang tentara. Saya empat kali
ikut perang melawan PKI. Yang ampuh ketika itu menantu Mbah Hasyim, Kiai
Idris Cirebon. Di tubuhnya, pedang tidak mempan,” ungkapnya, memberi
kesaksian.
Paham NU Tidak Radikal
Kemudian kami menanyakan
sosok Kiai Hasyim ketika ada di mimbar. Tentang hal ini, Kiai Bajuri
punya jawaban tersendiri. “Mbah Hasyim tidak bisa ceramah, dalam artian
tidak seperti orator ulung yang disukai para jamaah. Beliau orangnya
lugu, lempeng, lurus kalau berceramah. Seperti khotbah jumat. Meski
begitu, tiap kali beliau dipanggil ke panggung, semua orang langsung
fokus, yang sedang ngopi di warung ditinggal untuk mengikuti pengajian
beliau,” tuturnya.
Tak hanya itu, Kiai Bajuri juga
menginformasikan ayat yang sering dikutip oleh Sang Kiai dalam
forum-forum ulama pesantren. “NU itu tidak radikal. Mbah Hasyim sering
mengutip surat Ali Imrān sebagai pedomannya,” tuturnya, dilanjutkan
melafaldkan dengan fasih barisan kalam Tuhan yang berusia lebih dari 14
abad lalu.
Fabimā rahmatim minallāh linta lahum, walau kunta
fadzdzann ‘ghalidzal qalbi la angfaddhuu min chaulika, fa’fu ‘anhum
wastaghfirlahum wasyāwirhum fil amri, faizā ‘azamta fatawakkal ‘alallāh,
innallāha yuhibbul mutawakkiliin;
Maka berkat rahmat Allah
engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau
bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonlah ampunan untuk
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian,
apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah.
Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal. (Ali Imrān: 159)
“Kalau
dakwahnya keras, orang bisa lari. Walau disalahkan-salahkan seperti
apa, Mbah Hasyim tidak jengkel. Mereka (yang menyalah-nyalahkan) kan
tidak atau belum tahu,” tegasnya.
Kalau dalam pidato-pidato untuk
orang umum di lapangan besar seperti di Jombang, Kediri, Pare, beliau
sering mengutip Surat Al-A’raf.
Walau anna ahlal qurāā āmanuu
wattaqauu lafatahnā ‘alaihim barakātim minassamāāi wal ardli walākin
kazzabuu faakhadznāhum bimā kānuu yaksibuun.
Dan sekiranya
penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka seseuai dengan apa yang telah
mereka kerjakan. (QS. Al-A’raf: 96)
Tak terasa, sudah satu jam
setengah kami bertamu di sore itu. Kami baru menyadari, diluar sudah
terdengar gemuruh hujan. Meski begitu, tak enak jika terlalu lama dengan
beliau yang telah berusia senja. Kami pamit, mohon undur diri meski
membelah hujan yang mengguyur jalanan. Sebelum kami pulang, beliau
sempat berpesan, entah itu menerjemahkan pemikiran Kiai Hasyim, pesan
untuk kami atau menyoroti fenomena jihad dewasa ini, kami tidak tahu.
Dari dan untuk ntuk siapapun pesan itu, yang penting kami tulis disini.
“Jihad
itu bi amwa likum (dengan harta kalian) dan angfusikum (diri,
pertaruhan jiwa kalian). Jihad nabi dulu membawa pedang, jihad hari ini
pedangnya pena,” pungkasnya. (Ahmad Naufa/Abdullah Alawi)
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.