Nasional

Habib Husein Kisahkan Rahasia Tidak Berhaji Tapi Bisa Mabrur

Jum, 16 Juli 2021 | 23:00 WIB

Habib Husein Kisahkan Rahasia Tidak Berhaji Tapi Bisa Mabrur

Habib Husein Ja'far al-Hadar. (Foto: Dok. instagram/husein_jadar)

Jakarta, NU Online
Habib Husein Ja'far al-Hadar mengatakan, tolok ukur seorang haji yang mabrur adalah ketika seorang tersebut menjadi pribadi yang lebih baik, berperikemanusiaan, tidak riya, dan sombong setelah berhaji.


Pada podcast Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor bertajuk ‘Haji dan Kesalehan Sosial’ yang diselenggarakan secara virtual, Kamis (15/7) malam, Habib Husein mengisahkan seorang tabi'ut tabi'in yang gagal berangkat haji.


“Ia gagal karena dana haji miliknya disedekahkan kepada seorang janda tua dengan enam anak yatim yang sedang kelaparan. Akhirnya, si janda tersebut menjadi sejahtera karena sedekah dari Ali bin Muwaffaq,” tutur penulis buku ‘Tuhan Ada di Hatimu’ ini.


Habib Husein bercerita, salah seorang ulama Mekkah, Abu Abdurrahman Abdullah ibn al-Mubarak al-Hanzhali al-Mawarzi, usai menjalani ritual ibadah haji tertidur kemudian bermimpi. Dalam mimpinya, ia menyaksikan dua malaikat tengah bercakap-cakap.


Dalam percakapan tersebut, seorang malaikat mengatakan jika dari 600.000 jamaah yang berhaji kala itu tak satupun ibadahnya diterima oleh Allah SWT. Namun, ada seorang yang hajinya diterima dan seluruh dosanya diampuni meski ia tidak jadi berangkat haji ke Baitullah. 


Baca juga: Habib Husein Ja’far: Peristiwa Haji Miliki Aspek Kesalehan Sosial


“Bahkan, berkat dia pun Allah berkenan menerima seluruh ibadah haji orang-orang yang berhaji pada tahun itu. Dialah Ali bin Muwaffaq, seorang tukang sol sepatu,” ungkap Direktur Akademi Kebudayaan Islam Jakarta itu.


Begitu mendengar seorang tukang sol sepatu bernama Ali bin Muwaffaq yang diceritakan malaikat tersebut, Abu Abdurrahman Abdullah langsung terbangun dari mimpinya.


Dengan rasa penasaran yang tinggi, selepas menunaikan ibadah haji ia langsung menuju sebuah kota dan mencari tukang sol sepatu sebagaimana disebut dalam mimpinya. Lalu mencari tahu amalan apa yang menyebabkan dirinya menjadi mabrur meski tidak menunaikan ibadah haji.


Singkat cerita, sang tukang sol sepatu tersebut menceritakan jika ia sama sekali tidak pernah melakukan amalan terkait ibadah haji. Namun, setiap musim haji tiba ia selalu menangis tatkala mendengar suara talbiyah.


Karenanya, setiap hari ia selalu menabung dari sebagian penghasilan sebagai tukang sol sepatu. Hari demi hari, sedikit demi sedikit, ia terus giat menabung. Hingga akhirnya pada musim haji kala itu tabungannya mencapai 350 dirham dan cukup untuk bekal berangkat haji.


Batal berhaji
Namun, ia batal berangkat haji kala itu. Sebab, suatu ketika, istrinya tengah hamil dan mengidam berat. Tiba-tiba ia mencium aroma masakan yang sangat nikmat dan meminta si tukang sol sepatu itu mencari sumber aroma itu serta memintakan sedikit masakan tersebut.


Ternyata aroma masakan tersebut berasal dari sebuah gubuk reyot yang hampir roboh, tempat tinggal seorang janda dan enam anak yatim piatu. Singkat cerita, Ali bin Muwaffaq menjelaskan maksud kedatangannya. Namun, ia mendapat penolakan dari sang janda.


Sembari menangis tersedu-sedu, janda itu menjelaskan jika ia sedang memasak daging yang halal untuknya, namun haram bagi Ali bin Muwaffaq. Sudah beberapa hari ia tidak makan dan sama sekali tidak mempunyai persediaan bahan makanan. Pagi itu ia melihat bangkai keledai tergeletak di kebun, lalu diambilnya sebagian daging keledai itu untuk dimasak.


Mendengar ucapan janda tersebut, Ali bin Muwaffaq langsung menangis dan pamit pulang. Lalu, ia pun menceritakan hal yang terjadi. Mendapat kabar itu, sang istri Ali pun ikut menangis. Kemudian mereka memasak makanan untuk si janda tua itu dan juga memberikan uang sebanyak 350 dirham agar si janda itu tidak lagi kelaparan.


“Jadi, inti dari kisah ini, bahkan ketika kita tidak memakai gelar haji atau tidak berangkat haji pun dianggap telah mabrur. Karena inti dari berhaji ialah niat dan setelahnya tidak menyombongkan dan tidak riya terhadap gelar haji,” ungkap Habib Ja'far.


Oleh karenanya, aktivis Gerakan Islam Cinta itu sangat setuju ketika Menteri Agama berkata jangan haji dulu karena pandemi. “Jadi, walaupun kita tidak menjadi haji, dan nauzubillah ya, misalnya kita wafat sebelum berhaji, selama kita sudah niat dengan tulus, maka insyaallah kita mabrur,” tuturnya.


Menurut dia, jika memaksakan berangkat haji di tengah pandemi dan menyebar berita bohong terkait pelarangan haji, hal itu dapat menyebabkan orang tersebut tidak mendapatkan pahala haji yang mabrur kendati ia melaksanakan ibadah haji. Karena hati, pikiran, dan lisannya telah kotor karena menyebar berita bohong.


“Santai saja jika tidak jadi berangkat haji. Toh, Allah tidak mengukur utamanya dari berangkat atau tidak. Belum tentu yang berangkat ia menjadi haji yang mabrur, dan yang tidak jadi berangkat tidak mendapatkan pahala. Bisa jadi sebaliknya,” ujar Habib Ja'far.


Justru, lanjut dia, sebab tidak jadi berangkat demi kemanusiaan itulah yang insyaallah dapat menyebabkan seorang tersebut mabrur, meski ia gagal menunaikan ibadah haji sebagaimana kisah Ali bin Muwaffaq.


“Haji diwajibkan untuk kita, kemudian menjadi kebaikan bagi diri kita sendiri, sekaligus juga menjadi bentuk ketaatan bagi kita kepada Allah. Dari sana kita meneguhkan bahwa kita sami'na wa atho'na kepada Allah,” tutup Habib Ja'far. 


Kontributor: Disisi Saidi Fatah
Editor: Musthofa Asrori