Gus Yahya Tegaskan NU Tidak Boleh Berkonsolidasi sebagai Identitas Politik
NU Online · Selasa, 4 Februari 2025 | 15:30 WIB

Ketum PBNU Gus Yahya saat menyampaikan pidato sambutan dalam Sarasehan Ulama bertajuk Asta Cita dalam perspektif Ulama NU di Hotel Sultan, Jakarta, pada Selasa (4/2/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)
Afrilia Tristara
Kontributor
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan bahwa NU tidak boleh dibiarkan tumbuh atau dipaksa menjadi bagian dari identitas politik.
"Nahdlatul Ulama tidak boleh dibiarkan tumbuh apalagi sengaja didorong untuk berkonsolidasi sebagai identitas politik. Tidak boleh, ini fundamental," ujar Gus Yahya dalam Sarasehan Ulama yang diselenggarakan di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, pada Selasa (4/2/2025).
Gus Yahya menekankan bahwa NU lahir dengan tujuan untuk mengabdi, melayani, serta berbakti kepada masyarakat dan bangsa.
"Dengan cara itu kehadiran NU menjadi berarti bagi masyarakat, berarti bagi bangsa dan negara," tambahnya.
Ia menyampaikan, jika suatu lingkungan budaya atau agama, termasuk NU, dibiarkan berkembang menjadi identitas politik, maka bisa membahayakan kelangsungan bangsa dan negara.
"Lingkungan budaya yang demikian luas ini tidak boleh berkembang menjadi identitas politik karena itu akan membahayakan kelangsungan bangsa dan negara," ujarnya.
Ia mengingatkan, ketika identitas budaya atau agama dikonsolidasikan dalam persaingan politik untuk merebut kekuasaan, maka dampaknya akan sangat berbahaya.
Menurut Gus Yahya, NU memilih untuk mendukung siapa pun yang memiliki misi untuk menghadirkan maslahat bagi rakyat, tanpa terjebak pada agenda politik tertentu.
Senada, Menteri Agama RI Prof Nasaruddin Umar memberikan pandangannya mengenai pentingnya memahami konteks sosial dan politik dalam pemerintahan saat ini.
Ia menjelaskan bahwa pada zaman sekarang ini, kecerdasan tekstual saja tidak cukup untuk menghadapi tantangan yang ada.
"Era sekarang ini tidak cukup didukung oleh sebuah kepintaran tekstual tapi kita juga harus mampu mengaktualisasikan kecerdasan tekstual itu di dalam kearifan memahami kenyataan kontekstual," ujar Menag Nasar.
Menteri Agama juga mengingatkan pentingnya kearifan lokal dan universal dalam menjalankan peran sebagai ulama di masa depan.
"Menjadi ulama dalam masyarakat modern itu sangat tidak mudah, tidak sesederhana menjadi ulama pada masa-masa yang lampau. Diperlukan kearifan-kearifan lain, kearifan lokal terutama, kearifan universal juga bagian yang tidak terpisahkan untuk kita pahami," katanya.
Ini menjadi sebuah tantangan baru bagi para ulama untuk tidak hanya menguasai teks-teks agama, tetapi juga mampu menghadapi realitas sosial dan politik yang berkembang.
Acara yang mengusung tema Asta Cita dalam Perspektif Ulama Nahdlatul Ulama ini juga dihadiri oleh sejumlah tokoh penting lainnya. Di antaranya Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof Abdul Mu'ti, Sekretaris Jenderal PBNU yang juga Menteri Sosial H Saifullah Yusuf, Katib Aam PBNU KH Akhmad Said Asrori, dan Wakil Rais Aam PBNU sekaligus Ketua Umum MUI KH Anwar Iskandar.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua