Nasional

Gus Ulil: Budaya Politik Indonesia Lebih Cenderung pada Harmoni, Namun Oposisi Tetap Dibutuhkan

Sab, 17 Februari 2024 | 21:00 WIB

Gus Ulil: Budaya Politik Indonesia Lebih Cenderung pada Harmoni, Namun Oposisi Tetap Dibutuhkan

Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan bahwa tradisi politik Indonesia, pemenang selalu ingin merangkul yang kalah, dan itu merupakan bagian dari budaya politik Indonesia.


“Tradisi politik Indonesia, itu pemenang selalu ingin merangkul yang kalah, ini bagian dari budaya politik kita memang. Kita tidak bisa komplain atau apa tapi ya begitu faktanya,” ujarnya dilansir dari kanal Youtube NU Online, Sabtu (17/2/2024).


Ia menekankan bahwa meskipun budaya politik Indonesia mengutamakan harmoni, keselarasan, dan kerukunan, keberadaan kekuatan oposisi yang cukup kuat tetaplah penting. Menurutnya, kekuasaan politik yang tidak diimbangi oleh kontrol dan kritik dari luar tidak akan menghasilkan situasi yang sehat.


“Kekuatan-kekuatan oposisi yang terlalu kuat itu tidak disukai memang, tetapi kita tahu kalau tidak ada penyeimbang itu kan tidak bagus ya. Suatu kekuasaan politik itu pasti membutuhkan kontrol, pasti membutuhkan kritik dari luar,” terangnya.


Gus Ulil juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang kemungkinan budaya politik harmoni yang berlanjut di masa depan. Ia meragukan apakah harmoni ini akan tetap bertahan atau bahkan memburuk dari sebelumnya. Namun, ia melihat potensi beberapa partai politik untuk menjadi penyeimbang dalam dinamika politik Indonesia, salah satunya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
 

“Kalau saya sih melihat kubu Ibu Megawati akan konsisten menjadi kekuatan oposisi dan saya pernah berkata bahwa PDIP itu akan bisa menjadi cemerlang jika berada di luar pemerintahan. Jadi political geniusnya PDIP kelihatan, kalau dia menjadi kekuatan penyeimbang,” jelasnya.


Ia mengatakan bahwa partai lainnya yang memungkinkan memainkan peran menjadi kekuatan oposisi ialah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). “PKS mungkin masih bisa diharapkan ya, kalau PKB  mau menjadi bagian dari oposisi lebih bagus,” imbuhnya.


Ia juga menegaskan pentingnya rebalancing atau penyeimbangan kembali dalam politik Indonesia pasca-pemilu. “Saya sudah melemparkan satu narasi sebelum pemilu ini, dengan mengatakan bahwa, ada hikmah politik yang bisa kita petik dalam pemilu kala ini yaitu terjadinya rebalancing atau penyeimbangan kembali,” ujarnya.


Menurutnya, salah satu hal yang kurang bagus pada masa pemerintahan sebelumnya adalah kelemahan kekuatan penyeimbang dan kekuatan pemberi kritik, baik di dalam maupun di luar parlemen. Oleh karena itu, ia berharap bahwa dalam lima tahun mendatang, akan terjadi penyeimbangan di mana kekuatan kritis dan penyeimbang akan lebih signifikan.


“Kita berharap bahwa di dalam lima tahun mendatang minimal menjadi rebalancing (penyeimbangan kembali) di mana ada kekuatan kritis, ada kekuatan penyeimbang di dalam parlemen, di luar parlemen, dan kita berharap yang kalah saat ini itu tidak bergabung dengan yang menang ya,” tegasnya.


Meskipun teoritisnya penting untuk memiliki oposisi yang kuat, Gus Ulil mengakui bahwa tantangannya adalah apakah pemenang pemilu akan sabar menghadapi posisi tersebut, karena posisinya signifikan jika PDIP dan PKS menjadi oposisi di parlemen.


“Karena kita tahu sekarang PDIP berdasarkan quick count itu menjadi partai pemenang pemilu, meskipun calonya kalah. Artinya suara dia (PDIP) kalau digabungkan dengan suara PKS itu lebih dari 25 persen, tetapi itu ideal sekali kan 2/3, kalau ditambah PKB misalnya atau ditambah partai yang lain bisa 30 persen bahkan 35 persen,” pungkasnya.