Nasional

Gus Solah: Pejuang NKRI Berdasarkan Islam akan Terus Hidup

NU Online  ·  Rabu, 20 Februari 2019 | 02:00 WIB

Gus Solah: Pejuang NKRI Berdasarkan Islam akan Terus Hidup

KH Salahuddin Wahid (foto: istimewa)

Jombang, NU Online
Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur KH Solahuddin Wahid mengatakan, Abu Bakar Ba'asyir dan mereka yang sepaham dengannya akan terus berjuang secara konstitusional untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Islam.

Meski perjuangan itu kembali akan menemui kegagalan. Jumlah pendukung gagasan seperti itu makin berkurang, tidak ada lagi partai politik yang mendukung gagasan tersebut, namun sebagian mereka masih terus berjuang mewujudkan impiannya.

Hal tersebut disampaikan kepada NU Online, Selasa (19/02) menanggapi batalnya Abu Bakar Ba'asyir menerima pembebasan dari pemerintah beberapa waktu yang lalu.

"Pembebasan bersyarat terhadap Abu Bakar Ba'asyir yang urung dilakukan karena ia tidak mau menerima syarat setia kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila. Yusril Ihza Mahendra mencoba membujuk dengan menyatakan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Jawab Ba'asyir, kalau keduanya tidak bertentangan, mengapa NKRI tidak berdasarkan Islam saja?," kata Gus Sholah.

Pria yang akrab disapa Gus Solah ini mengatakan, dirinya pernah diundang menjadi pembicara dalam seminar di Sragen yang diadakan organisasi pimpinan Ba'asyir tahun 2007-2008. Saat itu Ba'asyir menyatakan bahwa Indonesia harus berdasarkan Islam. 

"Saya sampaikan kepada peserta seminar bahwa NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Persis, dan lain-lain pernah melakukan perjuangan serupa. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan itu tidak berhasil," beber Gus Solah.

Cucu KH Hasyim Asyari ini menjelaskan perjuangan itu dilakukan sejak menjelang kemerdekaan, lalu dilanjutkan dalam Majelis Konstituante (1956-1959). Saat itu para tokoh ormas dan parpol Islam pada 1950 sampai 1970-an menganggap Pancasila bertentangan dengan Islam dan Pancasila itu sekuler. 

Anggapan tidak benar tersebut muncul karena Bung Karno sebagai penggali Pancasila sering berpidato memuji Kemal Attaturk, pemimpin Turki yang sekuler. Sehingga, Bung Karno dianggap oleh tokoh-tokoh Islam berpaham sekuler dan Pancasila juga dianggap sekuler. "Pada tahun 1984, Muktamar NU menerima secara resmi dasar negara Pancasila yang lalu diikuti ormas-ormas dan parpol Islam," ujarnya.

Tokoh NU KH Achmad Siddiq pada tahun 1983 menulis naskah Hubungan Islam dan Pancasila. Dalam naskah itu dinyatakan bahwa Pancasila bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Juga dinyatakan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tahuhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. 

"Dinyatakan bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya," papar Gus Solah.

Dikisahkan, pada 17 Agustus sore, seorang perwira Jepang menemui Bung Hatta dengan membawa pesan bahwa orang Kristen di wilayah Kaigun keberatan terhadap sila pertama "Ketuhanan dengan kewajiban untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Jika anak kalimat itu tetap dipertahankan, pulau-pulau yang dihuni mayoritas umat Kristen di Indonesia Timur tidak akan bergabung dalam negara Republik Indonesia yang akan didirikan.

Pada 18 Agustus 1945 pagi sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dimulai, Bung Karno dan Bung Hatta menggelar rapat nonformal bersama sejumlah tokoh Islam. Rapat itu membahas permintaan perwakilan umat Kristiani Indonesia Timur, untuk merubah sila pertama.

Para tokoh Islam sebenarnya sulit menerima permintaan itu. Namun, mereka sadar, kalau satu bagian dari Indonesia Timur tidak bergabung dengan Republik Indonesia, posisi Indonesia di mata luar negeri akan melemah. Demi lahirnya negara Republik Indonesia, tokoh-tokoh Islam berlapang hati menyetujui dihapusnya tujuh kata tersebut.

"Ternyata sampai kini Ba'asyir belum mampu memahami sikap tokoh-tokoh Islam pada 18 Agustus 1945 itu dan makna yang tersirat di dalamnya. Hingga saat ini masih cukup banyak umat dan tokoh Islam yang masih meratapi dibatalkannya Piagam Jakarta," urainya. 

Mereka yang ingin mengganti dengan negara Islam sulit menerima bahwa rumusan yang dihasilkan melalui musyawarah alot selama sekitar 21 hari diperdebatkan selama beberapa hari dalam sidang BPUPKI bisa diubah hanya dalam waktu singkat.  

Dekrit Presidan 5 Juli 1959

Majelis Konstituante yang membahas UUD-dasar negara menjadi masalah paling sulit dicari titik temu. Ada tiga kelompok: kelompok Pancasila (247 kursi), kelompok Islam (230 kursi), dan kelompok ekonomi sosialis-demokrasi (10 kursi). Karena perdebatan begitu alot dan sulit mencapai kata sepakat dalama masalah dasar negara, muncullah usul dari Presiden Soekarno dan Jenderal TNI Abdul Haris Nasution untuk kembali kepada UUD 1945.

Fraksi pendukung Presiden Soekarno langsung menyetujui. Fraksi Islam mengambil kesempatan untuk memasukkan kembali "tujuh kata Piagam Jakarta". Mereka setuju kembali kepada UUD 1945 apabila Piagam Jakarta dicantumkan dalam UUD 1945. Menanggapi usul Fraksi Islam, PM Juanda menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 oleh karena itu memberi dasar bagi pelaksanaan hukum agama.

Akhirnya, penentuan dasar negara dalam Majelis Konstituante diselesaikan dengan pemungutan suara terhadap usul memasukkan "tujuh kata Piagam Jakarta" ke dalam pembukaan UUD. Yang pro mencapai 201 suara dan yang kontra mencapai 266 suara. Usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tanpa revisi juga dilakukan melalui pemungutan suara. Pada pemungutan suara ketiga, hasilnya 263 pro kembali ke UUD 1945 dan 203 kontra.

"Karena suara terbanyak tidak mencapai 2/3 jumlah suara, tidak ada yang menang. Konstituante mengalami jalan buntu. Maka pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945," bebernya. 

Dikatakan Gus Sholah, butir kelima dalam pertimbangan dekrit itu menyatakan bahwa presiden yakin jika Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan kesatuan darinya. 

"Dua partai Islam, yaitu PPP dan PBB, ingin memasukkan pemberlakuan Piagam Jakarta dalam SU MPR 2001, akan tetapi keinginan itu kembali tidak berhasil," pungkas Gus Solah. (Syarif Abdurrahman/Muiz)