Bogor, NU Online
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam klasik yang menyatu dengan masyarakat. Keselarasan ini tercipta karena pesantren lahir di tengah masyarakat dan mampu menjawab problem-problem sosial-kemasyarakatan.
Hal itu ditegaskan Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghaffar Rozin (Gus Rozin) saat mengisi kegiatan Halaqah Kiai dan Nyai III tahun 2018, Kamis (28/6) malam di Bogor, Jawa Barat yang diselenggarakan Pusat Studi Pesantren (PSP).
Dalam kegiatan bertajuk Pesantren dan Media Sosial: Jihad Melawan Radikalisme dan Terorisme tersebut, Gus Rozin mendorong agar pesantren tidak tercerabut dari akar sosial masyarakatnya.
Hal ini sesuai dengan peran pesantren yang tidak hanya sebagai tempat menempa ilmu agama, tetapi juga mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat secara luas melalui berbagai program pemberdayaan. Namun, ia juga menyoroti sebagian pesantren.
"Berapa pesantren yang hari ini tidak berpagar? Pagar pesantren untuk siapa? Untuk santri agar tidak keluar? Atau agar masyarakat tidak masuk pesantren?” ucap Gus Rozin.
“Monggo dijawab, tapi berdirinya pesantren itu tidak terlepas dari inisiatif masyarakat. Kekiaian, keulamaan adalah tugas dari masyarakat. Pesantren dan masyarakat satu-kesatuan, tidak boleh segregatif,” sambungnya.
Sementara itu, pendiri PSP Achmad Ubaidillah mengungkapkan, jaringan pesantren di seluruh Indonesia harus terus diperkuat untuk menjawab tantangan zaman. Sebab itu, penguatan jaringan dan pertemuan para kiai dan nyai terus diikhtiarkan oleh PSP.
“PSP mempunyai cita-cita yang dulu dilakukan oleh para ulama dan masyayikh untuk terus mempertemukan jaringan santri, kiai, dan nyai,” terang Gus Ubed, sapaan akrabnya.
Ia tidak memungkiri, kekuatan para kiai pendahulu ialah tidak lepas dari tali silaturahim. Dari silaturahim ini, berbagai potensi akan bertemu, baik dari sisi ilmu pengetahuan, skill, motivasi, dan lain-lain.
Menurutnya, saat ini pesantren juga tidak lepas dari hiruk-pikuk media sosial. Eksistensi dan peran para aktivis pesantren secara akhlak dan keilmuan dibutuhkan untuk menyikapi media sosial yang kerap dipenuhi kebencian dan perilaku negatif serta meunculnya benih-benih radikalisme. (Fathoni)