Gus Mus Tak Sepakat Konsep Pendidikan Nasional
NU Online · Selasa, 11 November 2014 | 01:30 WIB
Kudus, NU Online
Masyarakat Nusantara telah memiliki tradisi pendidikan sejak sebelum nama Indonesia datang, salah satunya pesantren yang kini justru tak diakui sebagai sistem pendidikan formal ala pemerintah. Menurut KH A Mustofa Bisri (Gus Mus), kondisi ini merupakan buah dari penjajahan yang sudah berlangsung sejak lama.
<>
“Konsep pendidikan kita ini dikaburkan pertama kali oleh kolonialis Barat. Bukan hanya menjajah rakyatnya saja tapi juga menginjak-injak sistem pendidikan kita. Belanda itu memisahkan ilmu menjadi dua, ilmu umum dan ilmu agama,” papar Pejabat Rais Aam PBNU ini pada Harlah Madrasah NU Mu’allimat Kudus di Gedung JHK (5/11).
Pemisahan semacam ini, kata Gus Mus, kemudian diadopsi oleh pemerintah kita. “Ilmu umum menjadi sekolah-sekolah negeri, dan ilmu agama terdapat di madrasah dan pondok pesantren. Padahal Islam tak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum,” paparnya.
Ketidaksepakatan Gus Mus dengan pendidikan nasional tertuju pada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Gus Mus pun mengkritik keberadaan toko buku yang tak menyediakan kitab, atau toko kitab yang tak menyediakan buku. Padahal antara buku dan kitab, sama-sama sumber keilmuan. “Kitab” artinya buku, dan buku jika dibahasaarabkan menjadi “kitab”.
“Ada kelucuan-keluacuan yang dianggap tak lucu di negeri ini. Di toko buku kita tak bisa menjumpai kitab. Dan di toko kitab, kita tak menjumpai buku. Kitab ayah saya tak bisa dijumpai di toko buku, sedangkan buku-buku saya malah sebaliknya, tidak bisa dibeli di toko-toko kitab,” terang Gus Mus.
Sesungguhnya kolonial membangun sekolah adalah hanya untuk mendapati pegawai terdidik dengan upah yang murah. Gus Mus tentu tak sepaham dengan agenda pemerintah yang meloloskan sistem sekolah ala koloni menjadi sistem pendidikan nasional. Menurutnya, ini hanya akan mencetak dua jenis generasi yang saling bertolak belakang.
“Maka yang satu pandai soal urusan dunia namun tidak tahu agama, dan yang satu lagi pandai agamanya namun bodoh urusan dunianya. Akhirnya para ahli dunia membodohi yang ahli agama,” sesal Gus Mus.
Lebih lanjut, Gus Mus menyarankan agar nilai rapor murid tidak hanya mengedepankan pada aspek penilaian mata pelajaran umum, tapi juga agama. “Kalau pelajaran umum, biji-nya (nilainya) sangat teliti. matematika, biologi, gurunya selalu teliti. Tapi kalau tentang kelakuan, tidak perlu teliti. Biasanya satu sekolah sama nilainya, B. Sebab mau dikasih A terlalu tinggi, mau dikasih biji C kasihan. Kalau guru tahu persis kemampuan matematikanya, masak tidak tahu karakter muridnya?” keluh Gus Mus terhadap tradisi rapor di sekolah.
Menurutnya, hal ini menandakan bahwa akhlakul karimah dinilai tidak penting, sebab nilainya diabaikan tak seteliti saat guru menilai pelajaran umum. “Yang penting itu berprestasi. Pemerintah ndak butuh generasi berkahlak. Tidak berakhlakul karimah saja, orang-orang sudah bisa menjadi anggota DPR. Pemerintah tidak butuh orang ahli agama, orang yang berakhlakul karimah. Sampai lirik lagu ‘itulah tandanya murid yang budiman, diganti itulah tandanya murid berprestasi’,” sindir Gus Mus pada dunia pendidikan kita. (Istahiyyah/Mahbib)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
2
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
3
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
4
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
5
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
6
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
Terkini
Lihat Semua