Nasional

Saat Jabat Presiden, Gus Dur Libatkan Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan

Sab, 19 Desember 2020 | 04:30 WIB

Saat Jabat Presiden, Gus Dur Libatkan Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online
Saat menjabat sebagai presiden, KH Abdurrahman Wahid membuka ruang bagi organisasi masyarakat sipil untuk memberikan masukan. Tak hanya itu, masyarakat juga terlibat dalam pembuatan kebijakan. 
 
“Ruang itu sangat terasa,” kata Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid dalam program Jurnal Pagi Akhir Pekan yang disiarkan langsung melalui Kanal Youtube TV9 Official, pada Sabtu (19/12) pagi.
 
Di dalam sistem ketenagakerjaan misalnya, Alissa mencontohkan, sebelum masa kepemimpinan Gus Dur terdapat pertentangan sangat tajam antara industri atau pemilik bisnis dengan organisasi buruh di lingkungan perusahaan.
 
“Jadi pemilik-pemilik usaha itu rata-rata tidak mendengarkan aspirasi para pekerjanya. Nah pada masa Gus Dur itu dibuat sebuah keputusan bahwa setiap kali ada konflik di dalam perusahaan, suara buruh yang diwakili oleh serikat buruh itu harus dimasukkan,” ungkap putri sulung Gus Dur ini.
 
Alissa menambahkan contoh lain yakni soal masyarakat adat yang tinggal di hutan. Pada masa kepresidenan Gus Dur, aktivis gerakan lingkungan pernah menyampaikan aspirasi kepada sang presiden yang ulama itu mengenai kelompok adat yang tinggal di hutan dan terancam penghidupannya.
 
“(Masyarakat adat di hutan terancam) karena banyak sekali alih lahan, hutan dibabat dan menjadi industri perkebunan. Nah kawan-kawan yang dari gerakan masyarakat sipil yang tekun atau fokus pada isu lingkungan menyampaikan ini kepada Presiden Gus Dur,” katanya.
 
Lalu Presiden Gus Dur mengambil keputusan. Beberapa hutan di Indonesia dijadikan sebagai hutan nasional alias menjadi milik negara dan tidak bisa diperjualbelikan. Keputusan tersebut ditujukan agar orang-orang rimba yang hidup di hutan tidak kehilangan hutan.
 
“Jadi ada penghormatan terhadap tradisi kearifan masyarakat rimba yang memang cara hidupnya seperti itu. Jangan sampai terabaikan hak-haknya sebagai warga negara karena kepentingan ekonomi dan industri,” tegas Alissa. 
 
Menurutnya, kedua contoh yang telah dipaparkan itu adalah bagian dari cara Gus Dur yang selalu menyerap informasi dan pandangan langsung dari lapangan. Karena menurut Presiden Gus Dur hal terpenting yang harus didengarkan adalah yang dikemukakan dari sudut pandang rakyat. 
 
“Gus Dur bukan hanya (menyerap informasi) dari sudut partai politik dan birokrasi negara. Dengan demikian prinsip asal Gus Dur tasharruful imam 'ala ra'iyyah manuthun bil maslahah itu memang betul-betul terlaksana,” ungkapnya.
 

Politik Kewargaan Gus Dur 

Sementara itu Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim mengatakan bahwa yang dilakukan Gus Dur adalah bagian dari perwujudan politik kewargaan. 
 
Politik kewargaan sendiri merupakan salah satu dari sembilan poin rekomendasi yang ditelurkan Jaringan Gusdurian dalam pertemuan nasional yang digelar secara virtual, selama sepuluh hari sejak 7 hingga 16 Desember lalu.
 
“Politik kewargaan itu prinsipnya kebangsaan yang dalam demokrasi itu berasal dari rakyat. Jadi siapa pun yang sedang diberi mandat kekuasaan harus diawasi rakyat sebagai pemilik asli kedaulatan,” ungkap Gaffar.
 
Namun, kini muncul masalah yang kerap terjadi yakni rakyat justru sulit untuk memainkan peran pengawasan kepada kekuasaan. Terlebih jika Pemilihan Kepala Daerah atau Pemilihan Presiden sudah usai yang membuat masyarakat saling bersitegang dan bertikai satu sama lain.
 
“(Masyarakat usai Pemilu) saling menyerang, sibuk mendukung politisi tertentu, dan menyerang politisi yang lain sehingga masyarakat jadi lupa untuk mengawasi kekuasaan. Kalau ada yang mengawasi (kekuasaan), itu pasti di-counter oleh elemen masyarakat lain yang mendukung penguasa,” ungkapnya.
 
Akibat yang timbul adalah masyarakat tidak bisa memainkan kontrol dengan baik. Karena itu, kata Gaffar, salah satu rekomendasi yang dikeluarkan Jaringan Gusdurian adalah mendorong agar masyarakat sipil menguatkan fungsi kontrol terhadap penguasa. 
 
Lebih jauh ia mengatakan bahwa peran masyarakat tidak hanya fokus berperan sebagai pemilih dalam setiap agenda pesta demokrasi, sekalipun itu sangat penting dilakukan. Namun, Gaffar mengimbau agar jangan sampai masyarakat mengabaikan tugas utama masyarakat dalam demokrasi, yakni mengawasi kekuasaan.
 

Kebijakan Berjalan Terlalu Elitis

Akademisi asal Sumenep, Madura, Jawa Timur itu menilai kebijakan pemerintah Indonesia saat ini terkadang berjalan terlalu elitis. Terutama di masa pandemi Covid-19. Ia menilai banyak Undang-undang yang sangat penting dan dikebut oleh elit politik saat rakyat tidak punya cukup energi untuk memperhatikan proses legislasi. 
 
“Nah yang seperti itu (kontrol kebijakan masyarakat) harus kita perhatikan. Rakyat harus punya peluang untuk turut terlibat, minimal mengetahui, apa yang sedang terjadi dalam pembuatan keputusan,” katanya.
 
Fenomena yang terjadi saat ini, terkait politik kewargaan dan keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan, sangat berbeda dengan era Presiden Gus Dur. Ketika itu, kata Gaffar, spirit Gus Dur saat menjalankan pemerintahan adalah membuka ruang keterlibatan rakyat yang sebesar-besarnya.
 
“Sekarang sebaliknya, elit politik itu maunya rakyat tidak perlu banyak tahu agar deal-deal politik di atas sana bisa berjalan dengan lancar. Ini yang menjadi sasaran keprihatinan kami di Jaringan Gusdurian,” pungkasnya.
 
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syamsul Arifin