Nasional

Gus Dur dan Kongkow Bersama

NU Online  ·  Sabtu, 28 Desember 2013 | 12:00 WIB

Sedemikian tenarnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah pembicaraan sehari-hari. Warung kopi, jejaring sosial, dan akademik peduli dengan pemegang 10 doktor honoris causa ini. Semua menjadi penggemarnya, tak peduli latar belakangnya.Nderek opo jare Gus Dur (ikut saja pendapat Gus Dur). Demikian beliau disanjung. Namun tiap setiap sesuatu memiliki pengecualian. Saya termasuk di dalamnya. 

<>Di bulan Mei 1998, saya sekilas melihat demonstrasi di depan Senayan lewat layar kaca. Selain itu banyak toko dijarah dan adegan bakar-membakar di jalan-jalan bernama entah. Perhatian saya lebih banyak tersedot kepada kakak saya yang sedang di Jakarta: semoga dia tidak dalam bahaya. Saya yang masih ababil ketika itu tak pernah menyadari betul bahwa setelah bulan ini semuanya tak pernah sama lagi. 

Kira-kira dua bulan setelahnya, ada stiker warna perak yang menarik perhatian. Ada lambang bola hijau di samping kiri diikuti kalimat provokatif: partaine wong kang kesingkir deneng Orde Baru (partainya orang yang tersingkir oleh Orde Baru). Pembikinnya, saya dapat keterangan dari tetangga sebelah yang penggemar Gus Dur. Tetangga yang satu ini memang NU gila. Gus Dur adalah NU, NU adalah Gus Dur. Selain dibagi, stiker itu ditempel di jendela rumah.

Saya tidak paham betul maksud dan tujuannya—anak muda belia ini tak mengerti ruwetnya Orde Baru. Tapi, selalu ada tanya yang membesit di tengah hari yang sempit. Apalagi, teman-teman sekelas menyambut hangat. “Stikernya buat saya ya?” pinta sang ketua. Permintaan demikian adalah sesuatu yang jarang—dia hanya peduli barang bagus. Tapi saya enggan. Stiker itu begitu berharga, serupa hadiah dari ibu tercinta.

Pada akhirnya saya tahu bahwa ada dua hal yang terlupakan. Bahwa Orde Baru memang ruwet, bahkan ruwet murakkab. Dan ada dia yang mengurai keruwetannya: Gus Dur. Sejak ketemu dua kata kunci ini, saya mulai menggemarinya. Saya menjadi tahu betapa beliau mengambil banyak resiko sementara tiada keuntungan yang diraih; tidak lelah “menyentil” Pak Harto dengan beragam cara sehingga yang bersangkutan marah; dan dikelilingi istri dan empat putri yang selalu mendukung dalam senang dan susah.   

Di acara Kongkow Bareng Gus Dur (KGBD), saya tahu Gus Dur secara fisik untuk kali pertama. Saya tak berani ngalap berkah dengan mencium tangannya. Hanya berdiri mematung, menghormatinya dari jauh. “Enggak berani, Mas,” saya menimpali rekan yang mengajak untuk bersalaman. Gus Dur seperti wali, orang suci dan diri ini serupa santri yang tidak bernyali. 

Bermula dari tugas kantor, saya meresapi acara ini. Hidup dan cara Gus Dur begitu jelas: ada yang pokok dan ada yang cabang, ada nilai dan ada kelompok. Hal pokok dan nilai tentu harus dipertahankan. Sisanya, bisa diperdebatkan. Dengan rumus sederhana ini, pertanyaan para hadirin dijawab dengan gampang. Tidak ada yang sulit diatasi, kecuali jika kita tidak bisa membedakannya atau dengan sengaja mencampurnya dengan kepentingan sendiri. 

Pada saya akhirnya tahu bahwa ada kejadian dramatis: seorang bapak membatalkan niatnya ke Ambon setelah mendengar argumen Gus Dur soal konflik di sana. Ia adalah tipikal keras kepala dan surga adalah tujuan jihadnya. Struktur muka menyampaikan tabiatnya dengan jelas. Begitupun cara dia berkata dan memilih diksi di dalamnya. Betapa sulit mengubahnya, bukan? Gus Dur menyampaikan argumen bahwa konflik ini bukan konflik agama sehingga tidak perlu bergagah ria ke Ambon dengan alasan agama. Ia malah berbalik menjadi pendengar setia. 

Setelah itu, setiap perjumpaan dipenuhi cerita tentang Gus Dur. Mata mereka begitu tulus—membuat saya yakin cerita itu bukan modus. Seorang teman yang tinggal lama di luar negeri, ia bahkan pernah berniat pindah status dari WNI, memiliki kesan tersendiri. “Gus Dur is the person no question at all,” kata dia. Tidak ada yang mempertanyakan ketulusannya, dia menjelaskannya lagi. Saya pun menahan diri dari mbrebes mili. (Nurun Nisa')