Nasional BELAJAR DARI GUS DUR (1)

Gus Dur Ajarkan Kesederhanaan Sejak Dini

NU Online  ·  Kamis, 24 Desember 2015 | 06:10 WIB

Jakarta, NU Online
Membicarakan sosok Gus Dur memang selalu menarik. Banyak orang yang terkesan dengan Presiden Republik Indonesia keempat itu. Ada yang menyebut Gus Dur sebagai guru bangsa, tokoh reformasi, pembela kaum minoritas, dan mungkin masih banyak lagi julukan bagi Gus Dur, tergantung kesan masing-masing orang.<>

Namun seperti apakah kesan keluarga, terutama putri-putrinya?

“Jarang ketemu,” tutur Alissa Wahid, putri pertama Gus Dur, mengawali perbincangan Sabtu, (19/12/2015) saat mengisi acara bincang tentang Gus Dur di Radio NU Jakarta.

Alissa mengatakan setiap anak punya banyak memori dengan orangtuanya. “Kalau untuk saya, karena saya lahir di Jombang, Gus Dur belum mengalami problem yang parah dengan penglihatannya, jadi saya mengalami saat Gus Dur naik skuter dari pondok pesantren di Denayar saat Gus Dur mengajar ke Tebuireng.” 

Alissa yang sengaja diundang untuk wawancara dengan Radio NU, menceritakan banyak hal lagi tentang sosok ayahnya. Alisa lahir tidak jauh dari saat Gus Dur kembali dari Timur tengah. Saat itu mereka tinggal di Jombang. Gus Dur sudah dikenal sebagai salah satu aktivis, yang diundang ke mana-mana dan banyak bepergian. “Gus Dur waktu itu hidup dari menulis dan mengisi seminar, jadi income nggak pasti. Kadang ada kadang enggak,” kata Alisa.

Dalam situasi seperti itu, Sinta Nuriyah Wahid, istri Gus Dur, membantu ekonomi keluarga dengan berjualan kacang rebus dan es mambo.

Kesederhanaan kepada putri-putrinya ditanamkan sejak dini oleh Gus Dur. “Waktu kecil, kami hidup di lingkungan pesantren yang enggak terlalu banyak godaan belanja,” kata Alissa yang murah senyum itu.

Keadaan agak berubah. Karena aktivitas Gus Dur lebih banyak di Jakarta, Gus Dur pun memboyong keluarganya ke Jakarta.

“Waktu itu saya berumur delapan tahun, penglihatan Gus Dur mulai bermasalah.”

Setelah di Jakarta, keluarga Gus Dur mulai dihadapkan pada dunia konsumerisme. Alissa mendapatkan uang saku saat SMP sebesar empat puluh ribu per bulan. Tetapi biasanya tanggal 20 sudah dipinjam oleh Gus Dur.

“Kamu masih punya uang nggak?” kata Alissa menirukan Gus Dur.

“Masih, Pak.”

“Masih ada berapa?” 

“Lima belas ribu.”

“Sini tak utang dulu.”

Maka sisa uang saku Alissa dipinjam lagi oleh Gus Dur.

Akan tetapi hal-hal semacam itu sangat dimengerti oleh Alissa dan putri-putri Gus Dur yang lain. Pengertian semacam itu justru tertanam sangat kuat. Karena Gus Dur tidak pernah menceramahi harus begini harus begitu, jangan begini jangan begitu. Gus Dur mengajarkan itu melalui keteldanan dalam kehidupan sehari-hari. Itu sebabnya keluarga Gus Dur tidak bersifat konsumtif, karena membiasakan merasa tidak terlalu membutuhkan. (bersambung)

(Kendi Setiawan/Fathoni)