Nasional

Fiqih Toleransi ala Pesantren, Jalan Tengah Problem Kebhinnekaan

Kam, 16 Februari 2017 | 12:00 WIB

Temanggung, NU Online
Sejak kemunculannya secara menyolok mulai beberapa bulan terakhir ini, isu tentang toleransi dan intoleransi sampai saat ini masih tetap menjadi topik perbincangan yang hangat di Indonesia. 

Bahkan tak dapat sangkal kedua isu tersebut kini nuansa persoalannya justru kian berkembang sedemikian rupa hingga munyembul aneka polemik dalam pelbagai lapisan masyarakat dan negara.

Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Nusantara ini, metodologi pembelajaran di dalamnya tidak saja berfungsi sebagaimana yang sudah lazim kita ketahui seperti misalnya menjadi benteng penjaga moral dan tradisi, media pemindahan ilmu dan pengetahuan agama dari kiai ke santri. 

Harta karun pesantren

Salah satu harta karun yang belum banyak digali dari pesantren adalah adanya pembelajaran di pesantren yang sebenarnya mampu menawarkan solusi berupa ajaran toleransi yang khas serta memiliki karakteristik toleransi tersendiri yang membedakan dengan model-model toleransi lainnya yang di antaranya dinilai cenderung ekstrem.  

Demikian benang merah dari diskusi dan bedah buku karya Syarif Yahya berjudul Fikih Toleransi dan Relevansinya dengan Kebhinekaan yang diadakan oleh LPM Grip STAINU Temanggung, bertempat di aula kampus STAINU Temanggung lantai tiga, Rabu (15/2).

"Saya berulang-ulang dalam buku ini memetakan tiga kelompok yang masing-masing mempunyai perbedaan pandangan secara signifikan. Ketiganya yaitu kelompok kanan, kiri, dan tengah. Kelompok pertama yang dimaksud ialah kaum fundamentalis yang sangat kaku dalam menafsirkan agama. Bagi mereka ukhuwah islamiyah hanya berlaku bagi orang yang sefaham saja,” terang Syarif Yahya penulis buku ini.

Sementara Golongan kedua acap cenderung liberal, sering mereka mewacanakan dan mempraktikkan toleransi tanpa batas. Menurut golongan ini toleransi tak melulu dalam ranah sosial kemasyarakatan an sich tapi juga termasuk dalam wilayah teologi peribadatan. Maka posisi fiqih tradisional pesantren berada di tengan antara keduanya.      

Ketua Aswaja Center Kabupaten Temanggung ini menambahkan, meski pada awalnya antara Islam fundamentasil seperti Wahabi dengan Islam tradisional mempunyai kesamaan materi yang dipelajari misalnya pembahasan tentang jihad, amar ma'ruf nahi mungkar, kisas, rajam, potong tangan, dll yang mana term-term Islam tersebut juga terdapat dalam kitab kuning yang dibaca santri, tapi istimewanya kaum tradisionalis pesantren tetap bisa tampil moderat. 

Hal itu kata kuncinya adalah terletak pada masih lestarinya metodologi pembelajaran kaum pesantren yang tidak dogmatis dan Cuma menggantungkan pada metode istifta atau meminta fatwa pada mufti dari negara pusatnya sebagaimana yang ditempuh golongan Islam fundamentalis.

Kekayaan metode

Lebih dari itu, kata Gus Yahya, demikian sapaan akrab alumni Al-Anwar Rembang ini, pendidikan pesantren memiliki kekayaaan metode seperti metode halakah misalnya, dimana murid berhadapan langsung dengan guru, kemudian santri menyimak pemamaparan materi yang luas dari guru, dipakainya pendapat ulama salaf salih yang jelas sanadnya, dipertimbangkannya aneka khilafiyah, juga murid dapat menyaksikan secara langsung pembawaan guru yang santun yang senantiasa mengedepankan akhlak mulia.

"Fiqih melalui metode syarah dan verbalisasi halakah dari matan sampai hasyiah bukanlah kitab fatwa. Fiqih ini lebih berupa pandangan umum penjelasan nash-nash suci. Itu artinya fleksibelitasnya terjaga dan memungkinkan seseorang dapat mengamalkannya sesuai kondisi yang menuntutnya. Berbeda dengan metode istifta ala Wahabi, kareana fatwa bersifat terikat dengan situasi dan kondisi tertentu maka belumlah tentu fatwa Arab cocok untuk Indonesia,” tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Kiai muda yang baru saja memenangi juara I kompetisi nasional penulisan esai yang diprakarsai NU Online ini menyatakan kurang setuju pada kelompok Islam yang disebutnya liberalis. 

Menurutnya dalam soal ukhuwah, sebagian kelompok liberal demi melawan intoleransi mereka getol mengampanyekan persaudaraan sebangsa dengan terlebih dahulu menghancurkan dinding batas agama, seperti gencar sekali menghujati kaum fundamentalis dan tradisionalis sembari mereka berakrab karib dengan non-muslim secara kelewat batas. 

Mereka juga yang beranggapan bahwa persaudaraan lintas agama lebih penting ketimbang persaudaraan seagama demi bhinneka tunggal ika.

Berbeda dengan itu, lanjut pengurus LBM PCNU Temanggung ini, kelompok pesantren tradisionalis yang terinstitusikan dalam NU berpandanagan tengah dalam menyikapi kebhinnekaan. 

Jika kaum kanan begitu gemar mengafirkan muslim dari golongan lain yang berbeda paham; jika kaum kiri dengan dalih persatuan bangsa kemudian melacurkan agama melalui pluralisme teologi, maka kelompok pesantren bersikap tengah bahwa ukhuwah harus dibangun secara urut: ukhuwah qarabah (sekeluarga), ukhuwah islamiyah, dan ukhuwah wathaniyah atau sebangsa. 

"Kita berkewajiban baik kepada kepada saudara seagama tapi jangan samapai kebaikan itu melebihi kebaikan kita kepada keluarga. Kita berkewajiban baik kepada saudara sebangsa tapi jangan sampai melebihi kebaikan terhadap saudara seagama," jelas Gus Yahya.

Dalam acara yang diikuti sekitar seratus peserta ini, hadir pula Wakil Bupati Temanggung, Kapolres Temanggung, perwakilan dari berbagai banom dan lembaga dari kalanagan NU Temanggung, delegasi pondok pesantren, dan delegasi dari LPM beberapa Perguruan tinggi di Jawa Tengah. (M. Haromain/Fathoni)