Nasional

Faktor-faktor Penyebab Pilkada Ditunda Menurut Undang-Undang

Kam, 24 September 2020 | 05:15 WIB

Faktor-faktor Penyebab Pilkada Ditunda Menurut Undang-Undang

Anggaran Pilkada yang mencapai Rp20,46 triliun (sudah termasuk tambahan Rp5,23 triliun untuk anggaran protokol kesehatan) dapat dialokasikan untuk masyarakat luas yang terdampak krisis akibat pandemi Covid-19. (Ilustrasi: NU Online)

Jakarta, NU Online

Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tetap bersikukuh melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang rencananya akan digelar pada 9 Desember 2020.

 

Keputusan tersebut diketahui tidak menghiraukan desakan sejumlah pihak untuk menunda pilkada karena pandemi Covid-19 masih merebak dan angka kasusnya semakin meningkat.


Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia mendesak penundaan pilkada di tengah wabah Covid-19 karena memunculkan mudharat (keburukan, bencana) yang besar bagi masyarakat.

 

Anggaran pilkada yang mencapai Rp20,46 triliun (sudah termasuk tambahan Rp5,23 triliun untuk anggaran protokol kesehatan) dapat dialokasikan untuk masyarakat luas yang terdampak krisis akibat pandemi Covid-19.


Perhelatan Pilkada apalagi serentak dinilai banyak pihak bakal memunculkan kluster baru Covid-19 karena sulit menghindari kerumunan massa.


Seperti apa keterangan pemilihan umum kepada daerah dalam Undang-Undang? Pakar Hukum, Muhammad Yasin dari hukumonline.com menjelaskan faktor-faktor yang dapat menyebabkan pilkada ditunda.


Menurut Yasin, faktor-faktor yang menyebabkan penundaan pemilu adalah terjadinya force majeure berupa kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang membuat pemilu atau pilkada tidak bisa dilaksanakan sebagian atau seluruh tahapan.


Penundaan pemilu atau pilkada yang dikarenakan faktor-faktor di atas dapat berakibat pada pemilu susulan maupun pemilu lanjutan.


Pemilu atau pilkada lanjutan dilakukan sesuai Pasal 230 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dalam hal suatu daerah terjadi: Pertama, sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan. Kedua, gangguan keamanan. Ketiga, bencana alam. Keempat, gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan.


Yang dimaksud dengan “pemilu lanjutan” dalam Pasal 230 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 adalah pemilu untuk melanjutkan tahapan yang terhenti dan/atau tahapan yang belum dilaksanakan.


Sedangkan dalam Pasal 230 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dinyatakan bahwa pelaksanaan pemilu lanjutan dimulai dari tahapan penyelenggaraan pemilu yang terhenti.


Adapun pemilu susulan sesuai Pasal 231 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dilaksanakan dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi: kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, dan gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan.


“Dalam hal yang ditetapkan adalah pemilu susulan, itu berarti seluruh tahapan pemilu digelar,” ujar Muhammad Yasin dilansir hukumonline.com.

 

Sesuai Pasal 232 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, Yasin menegaskan bahwa pemilu susulan dan pemilu lanjutan dilaksanakan setelah ada penetapan penundaan pelaksanaan pemilu.


Siapa yang berwenang menunda pemilu atau pilkada? Sesuai Pasal 232 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, Yasin menjelaskan bahwa penetapan penundaan dilakukan oleh:


1. KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan pemilu meliputi satu atau beberapa desa/kelurahan;


2. KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan pemilu meliputi satu atau beberapa kecamatan;


3. KPU Provinsi atas usul KPU Kabupaten/Kota apabila penundaan pelaksanaan pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota; atau


4. KPU atas usul KPU Provinsi apabila penundaan pelaksanaan pemilu meliputi satu atau beberapa provinsi.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon