Nasional

Dua Kiat Utama bagi Penulis Pemula Menurut Gus Ulil

Ahad, 14 Juni 2020 | 15:00 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam kursus menulis edisi perdana yang merupakan bonus bagi peserta Kuis Ngaji Ihya’, intelektual muda NU Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menjelaskan beberapa hal yang perlu dipahami terkait kiat yang bersifat umum dan bersifat khusus. Dirinya membagi kiat dalam dua kelompok besar.


“Yang umum ini relevan untuk semua orang. Baik sebagai langkah awal menjadi seorang penulis,” tandasnya dalam Kursus Menulis bagi para peserta Kuis Ngaji Ihya yang digelar dalam Grup WA Kursus Menulis yang digawangi oleh Ienas Tsuroiya, istri Gus Ulil, Sabtu (13/6) malam. 


Menurut dia, kiat umum berlaku untuk siapa saja, baik untuk menulis yang bersifat akademis maupun nonakademis. Baik untuk yang bersifat fun (menggembirakan) semacam menulis status di Facebook maupun yang agak serius seperti satu esai untuk media-media daring baik keagamaan maupun umum.


Baca juga: Ngaji Ihya Gus Ulil Berbuah Kuis dan Kursus Menulis


“Ada enam kiat yang saya anggap penting berdasarkan pengalaman pribadi sebagai seorang penulis. Bagi saya, kunci sukses penulis yang baik adalah kita harus mencintai bahasa yang kita pakai sebagai alat artikulasi untuk menyampaikan gagasan,” tuturnya.


Mencintai bahasa, lanjut dia, dalam hal ini adalah bahasa Indonesia. Pertama, kita harus mencintai bahasa ini dengan baik baik. Sebab, ia menjadi alat untuk menyampaikan gagasan kita. Bukti bahwa kita mencintai bahasa Indonesia adalah bahwa kita memperhatikannya secara sungguh-sungguh sebagaimana kita mencintai sesuatu yang tentu akan memperhatikannya lebih,” terangnya. 


Menurut Gus Ulil, salah satu bukti konkret mencintai bahasa Indonesia adalah bahwa kita harus bisa mengubah mindset (pola pikir). Banyak orang yang berpikir hanya karena kita lahir sebagai orang Indonesia dan memakai bahasa ini sejak kecil sampai remaja hingga dewasa, maka bisa memakainya dengan baik.


Cara berpikir seperti ini, lanjut dia, sangat keliru. Tidak mesti seseorang yang lahir di sebuah negara lalu menggunakan bahasa di negara itu otomatis bisa menggunakan bahasa tersebut dengan baik. Bahasa Indonesia adalah keterampilan yang harus direbut. Sebab ia bukan lahir bersama kita. Saat lahir kita tidak memiliki keterampilan berbahasa yang baik.


“Keterampilan berbahasa itu harus kita rebut. Harus kita usahakan. Jadi, jangan sekali-kali berpikir bahwa karena Anda orang Indonesia pasti bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Tidak mesti,” tandasnya.


Gus Ulil menambahkan, orang yang berpikir demikian sebenarnya prototipe orang yang malas. Cara berpikir seperti inilah yang membuat orang ini tidak berusaha untuk mempelajari skill atau keterampilan berbahasa dengan baik. Karena dia berpikir ketika dia lahir di sebuah negara tertentu otomatis dia bisa menggunakan bahasa di negara itu.


Buang Kemalasan
Menurut Gus Ulil, kemalasan ini harus kita buang. “Kalau Anda ingin menjadi penulis yang baik, Anda harus menanamkan pikiran dan satu mindset bahwa saya harus menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan itu tidak datang secara alamiah,” tuturnya.


“Itulah bukti bahwa kita sebetulnya mencintai, menyayangi, dan memberikan perhatian lebih kepada bahasa Indonesia yang menurut saya itu adalah sikap dasar untuk menjadi penulis yang baik,” sambungnya.


Kelima, Anda tidak akan menjadi penulis yang baik jika Anda tidak memiliki kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). Jadi, jika tidak mempunyainya tentu bisa meminjam meski ini tidak menarik. Jadi, usahakan anda memilikinya. “Minimal mengunduh aplikasi KBBI di android. Intinya anda harus punya itu,” tegasnya.


Mengapa memiliki kamus itu penting, menurut Gus Ulil, karena seorang penulis yang baik itu yang bisa menulis dengan bahasa yang segar. Penulis harus memilih diksi atau pilihan kata yang tepat. “Kalau Anda menulis dengan bahasa yang kosakatanya terbatas, maka tulisan Anda menjadi tidak menarik. Karena Anda tidak bisa menggunakan variasi kosakata dan diksi yang warna-warni,” terangnya.


Menurut Gus Ulil, setiap tulisan setidaknya memiliki dua elemen penting. Pertama, elemen bahasa. Kedua, elemen ide. Jika elemen pertama bisa kita serupakan dengan baju, maka elemen kedua sama dengan tubuh. “Jadi, tulisan itu layaknya manusia. Ada bajunya. Ada badannya,” ujarnya memberi tamsil.


Dua elemen ini, lanjut dia, harus seiring sejalan. Namun, penulis musti berlatih secara terpisah di dalam kaitannya dengan dua elemen ini. “Untuk meningkatkan mutu bahasa kita harus berlatih pelan-pelan dan sabar,” ujarnya.
     

Pantauan NU Online, usai paparan Gus Ulil memberi kesempatan tanya jawab. Para peserta yang berjumlah 110 warganet dari berbagai penjuru Nusantara dan mancanegara tampak bersemangat dan antusias melalui beberapa pertanyaan yang mereka lontarkan. 


Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Abdullah Alawi