Nasional

Dosen Psikologi UGM Jelaskan Penyebab Dokter Lakukan Pelecehan Seksual terhadap Pasien

NU Online  ·  Sabtu, 26 April 2025 | 07:00 WIB

Dosen Psikologi UGM Jelaskan Penyebab Dokter Lakukan Pelecehan Seksual terhadap Pasien

Gambar ini hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) Lu’luatul Chizanah menjelaskan penyebab seorang dokter bisa melakukan tindak kekerasan atau pelecehan seksual terhadap pasien. Padahal, profesi dokter di Indonesia mempunyai kepercayaan tinggi dari masyarakat.


Hal ini mengacu pada kasus pelecehan yang dilakukan oleh dokter di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Hasan Sadikin Bandung dan sebuah Klinik di Garut, Jawa Barat. Menurutnya, kasus pelecehan terfasilitasi karena adanya ketimpangan kuasa, dalam hal ini ada ketimpangan kuasa antara dokter dan pasien.


Pihak dokter mempunyai wewenang lebih karena pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, sedangkan pasien menjadi individu yang tergantung pada dokter.


“Status atau kuasa yang lebih tinggi memfasilitasi pelaku untuk mengambil keuntungan dari pihak lain, dalam hal ini keuntungan yang bersifat seksual,” ujar Lulu, sapaan akrabnya, kepada NU Online, pada Kamis (24/4/2025).


Ia menjelaskan, pemicu korban tidak segera menyadari dirinya menjadi korban saat berlangsung peristiwa kekerasan atau pelecehan seksual karena adanya situasi yang disebut freeze response. Freeze response merupakan semacam respons diam, terhenyak, tidak memberi tanggapan apa pun termasuk respons melawan.


“Respons ini bukan berarti memberi persetujuan, tapi sebenarnya merupakan respons instingtif untuk menyelamatkan diri. Dalam konteks yang berbeda, ini dapat dijumpai pada hewan yang diam atau bahkan berpura-pura mati, merupakan cara melindungi diri ketika tidak sanggup melawan,” jelasnya.


Ia menyatakan, sebenarnya survival mode atau mode bertahan hidup freeze response muncul dengan durasi tidak sesaat, bahkan bisa sampai 60 menit.


"Maka, dalam banyak kasus pelecehan seksual, perlu menyadari adanya kemungkinan muncul respons ini pada korban sehingga (menyebabkan) terlambat untuk melawan, melepaskan diri, atau berteriak minta bantuan,” katanya.


Anggota Forum Silaturrahim Nahdliyin Gajah Mada ini mengungkapkan, dokter sebagai kelompok pekerja profesional memiliki kode etik profesi. Tindakan pelecehan seksual merupakan bentuk pelanggaran terhadap kode etik tersebut, sehingga perlu dipertanyakan pengawasan terhadap penerapan kode etik dokter dalam proses pelayanan kesehatan.


Menurutnya, asosiasi profesi dokter atau lembaga berwenang harus memiliki sistem yang baik terkait pelaporan atau semacamnya. Keburaman penegakan aturan menjadi celah bagi pelaku sehingga merasa leluasa saat melakukan tindak pelecehan seksual.


Dosen Psikologi UGM yang lain Novi Poespita Candra menyatakan, kasus kekerasan atau pelecehan seksual yang dilakukan dokter merupakan fenomena gunung es. Faktor utamanya yakni kultur atau sistem etik dan moral yang kurang kuat di lingkungan layanan kesehatan.


"Tentunya ini hal yang menyedihkan dan perlu diwaspadai serta dicari akar persoalannya  jika memang ingin menyelesaikan," katanya.


Menurutnya, kekerasan atau pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan institusi layanan kesehatan, misalnya di RSUP Hasan Sadikin Bandung dan Klinik di Garut merupakan cerminan budaya institusi layanan kesehatan tersebut. Selain juga dari institusi pendidikan tempat pelaku belajar.


Logikanya, apabila sebuah tempat menjadi tempat yang kurang aman, berarti ada budaya yang mempengaruhi dan memberi kesempatan bagi seseorang untuk melakukan perilaku-perilaku antisosial.


"Misal budaya rumah sakit berorientasi pada bisnis bukan pada sosial kemanusiaan," terangnya.


Co Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan itu menjelaskan bahwa saat ini, institusi pendidikan kedokteran juga berkontribusi pada problem moral dan etik.


Berdasarkan beberapa riset dan media tentang isu etik di institusi pendidikan kedokteran mencatat berbagai kasus kekerasan, pelecehan, perundungan, senioritas, kompetisi yang tinggi, feodalistik bahkan depresi dan bunuh diri terjadi. Parahnya, hal ini menjadi kultur yang dinormalisasi.


"Jika sejak dalam pendidikan para dokter ini terbiasa hidup pada lingkungan niretik, maka ini yang berpotensi akan dilanjutkan saat dia menjadi profesional. Apalagi jika ditambah lingkungan kerja yang kulturnya juga tanpa sadar memberi kesempatan," ucapnya.


Berdasarkan teori psikologi, kata Novi, dokter bisa melakukan tindak kekerasan atau pelecehan seksual disebabkan oleh multisistem dari mulai microsystem hingga chronosystem.


Menurut Brofenbrener, kata Novi, dalam pendekatan ekologi sosial kekerasan atau pelecehan seksual disebabkan faktor pribadi dan keluarga sebagai mikro sistem. Selanjutnya, bisa diperkuat oleh institusi pendidikan sebagai makrosistem.


"Lebih luas lagi juga dipengaruhi sistem kesehatan di negara ini yang diduga berorientasi bisnis," ucapnya.