Nasional

Dorong Gerakan Nasional Mahasiswa Antiterorisme

NU Online  ·  Kamis, 24 Mei 2018 | 09:30 WIB

Jakarta, NU Online
Remy Hestian, mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bersama sepuluh mahasiswa lain di belakangnya berdiri tegak di hadapan 250 orang di dalam Gedung Aula Latief, UNJ, Rabu, (23/5). Dengan secarik kertas di tangannya, ia tampak gagah seperti Soekarno yang hendak membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945 silam. 

“Kita bersama akan membacakan deklarasi mahasiswa melawan terorisme. Untuk itu saya minta semua yang ada di ruangan ini berkenan berdiri dan mengikuti kalimat yang saya ucapkan,” pinta Remy. Semua orang lalu berdiri dari tempat duduknya mengikuti permintaan mahasiswa ini. 

“Kami mahasiswa Universitas Negeri Jakarta dengan ini berikrar: Satu, senantiasa menyemai sikap dan perilaku damai dan toleran di kampus. Dua, Menolak segala bentuk sikap dan tindakan intoleransi dan radikalisme. Tiga, siap dan berseida berperan aktif dalam rangka menjaga NKRI,” lanjuntnya diikuti oleh seluruh peserta yang hadir.

Deklarasi mahasiswa yang diakhiri dengan tepuk tangan meriah ini mendapat apresiasi dari semua orang yang hadir, termasuk Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid. Apa yang disebut Yenny sebagai ‘langkah berani’ ini seharusnya dapat ditiru kampus-kampus yang lain.

Selain bertujuan memperbanyak perlawanan terhadap terorisme di Tanah Air, lebih-lebih karena kelompok mahasiswa sendiri adalah salah satu ‘target rekrutmen kelompok teroris karena dianggap rentan.

“Mahasiswa disasar karena rentan dalam arti karena masih dalam fase pembentukan diri, karena ingin melakukan sesuatu yang besar ada maknanya. Nah keinginan kemudian yang disasarkan untuk melakukan jihad yang bimakna qital oleh mereka,” kata Yenny.

Apalagi aksi ini dilakukan di tengah maraknya aksi terorisme dalam beberapa waktu terakhir. Sejak memasuki bulan Mei, sejumlah kasus terorisme mengguncang ketenangan tanah air, mulai sengketa di Mako Brimob, lalu pengeboman di Surabaya-Sidoarjo hingga penyerangan di Riau dan Jambi. 

Melakukan pendekatan kepada kelompok mahasiswa sendiri tidak dapat hanya melalui panggung seperti ini saja. “Sebagai bagian dari civitas akademika, pendekatan kelompok ini juga harus dilakukan melalui pendekatan akademik, misalnya melalui mata kuliah di dalam kampus,” kata Yenny.

Sayangnya mata kuliah yang paling ‘dekat’ dengan pendidikan anti terorisme yakni Pendidikan Agama Islam, disebut tidak menyentuh anti-terorisme, sehingga tidak mengubah mainset mahasiswa tentang terorisme, lanjutnya. 

Pada titik ini perlu modifikasi model pendidikan yang lebih mengena terhadap terorisme. Persoalan selanjutnya adalah, jika masuk pada kulikulum, maka akan melekat? “Apakah mampu seorang dosen memberikan informasi pencegahan?” tanyanya. 

Pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang bersifat lebih kongkrit dari sekedar ya atau tidak. “Pertanyaan ini harus dijawab dengan langkah-langkah persiapan seperti pemberian pembekalan khusus kepada tenaga pengajar mata kuliah yang bersangkutan,” urainya.

Nampaknya, melakukan gerakan anti radikalisme di dalam sistem pendidikan tidak hanya cukup dengan deklarasi anti terorisme semata. “Tapi juga perlu menyentuh unsur yang lebih dalam dari itu,” terangnya. 

“Namun bagaimanapun, deklarasi ini yang menjadi bagian dari diskusi dari kampus menebar damai diharap menjadi sebuah pemantik gerakan nasional mahasisa yang lebih besar,” harapnya. (Ahmad Rozali/Ibnu Nawawi)