Nasional HARI SANTRI 2023

Doa Rais 'Aam PBNU: Bangunkanlah Hati Ulama dan Umat Islam dari Kelalaian Panjang

Ahad, 22 Oktober 2023 | 08:30 WIB

Doa Rais 'Aam PBNU: Bangunkanlah Hati Ulama dan Umat Islam dari Kelalaian Panjang

Rais 'Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar saat membacakan doa penutupan apel Hari Santri 2023 di Tugu Pahlawan Surabaya, Ahad (22/10/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)

Surabaya, NU Online

Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar didapuk untuk memimpin pembacaan doa pada Apel Hari Santri 2023 di Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, Ahad (22/10/2023).


Kiai Miftach memimpin pembacaan doa ini dengan dua bahasa. Ia mengawalinya dengan bahasa Arab. Setelah itu, harapan-harapan tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.


Dalam doanya, Kiai Miftach memanjatkan harapan agar hati para ulama dan umat Islam dapat bangkit dari tidur dan kelalaian yang panjang.


"Ya Allah bangunkanlah hati para ulama dan umat Islam dari tidurnya, dari kelalaiannya yang dalam dan berkepanjangan. Dan tunjukilah mereka ke jalan petunjuk-Mu,"

 

Kiai Miftach juga melangitkan harapan untuk kehidupan NU yang lebih baik dan ideal.


"Ya Allah. Ya Allah. Ya Allah yang maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri. Hidupkanlah jam'iyah kami, jam'iyah Nahdlatul Ulama, dengan kehidupan thayyibah, kehidupan yang baik dan ideal sesuai kehendak-Mu," harapnya.


"Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung senang kepada mereka, dan berikanlah rezeki dari macam-macam kebutuhan-kebutuhan yang mereka butuhkan. Mudah-mudahan mereka bersyukur," lanjutnya.


"Dan karuniakanlah mereka rizki kekuatan yang mengalahkan kebatilan kezaliman, ketidaksenonoan, dan keburukan agar mereka bertakwa," imbuh Kiai Miftach.


Ia juga memanjatkan cita bagi negara dan pemimpinnya agar dapat makmur nan sejahtera. "Dan anugerahilah para pemimpin kami negara kami kemakmuran dan kesejahteraan penuh dengan kemakmuran yang makmur dengan kesejahteraan," katanya.


Mengawali doanya, Kiai Miftach memuji Allah dengan menyebut asma-asma-Nya yang mulia. Hal ini seraya diiringi dengan kalimat-kalimat yang menunjukkan penghambaan, bahwa harapan dan doa itu disandarkan hanya pada Allah.


"Ya Allah, aku bermohon pada-Mu, dengan rahmat-Mu yang memenuhi segala sesuatu, dengan kekuasaan-Mu yang dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu, dan karenanya merunduk segala sesuatu," katanya.


"Dengan kemuliaan-Mu yang mengalahkan segala sesuatu, dengan kekuatan-Mu yang tak tertahankan oleh segala sesuatu, dengan kebesaran-Mu yang memenuhi segala sesuatu dengan kekuasaanmu yang mengatasi segala sesuatu dengan Dzat-Mu yang kekal setelah punahnya segala sesuatu dengan asmamu yang memenuhi tonggak segala sesuatu, dengan ilmu-Mu yang mencakup segala sesuatu dengan cahaya Dzat-Mu yang menyinari segala sesuatu," lanjutnya.


Wujud penghambaan dalam doa itu juga ditunjukkan dengan pernyataan kelemahan dan kehinaan diri di hadapan Allah swt.


"Ya Allah, ya Tuhan kami. Kami mengadu kepada-Mu. Betapa lemahnya kekuatan kami. Betapa sedikitnya hailah (daya upaya) kami dan betapa hinanya kami pada pandangan manusia. 


"Ya Tuhan yang Maha Penyayang, yang mengatasi segala yang menyayangi Engkau adalah Tuhan orang-orang yang lemah dan Engkau ada Tuhan kami kepada siapa engkau serahkan diri kami ini, kepada orang yang jauh yang memandangku dengan muka masam atau kepada musuh yang ingin menguasai diri kami," ujarnya.


Kiai Miftach menegaskan bahwa pemberian maaf dari Allah atas segala kesalahan yang hamba lakukan jauh lebih luas.


"Jika tiada murka-Mu terhadap diri kami, kami tidak peduli tapi kemaafanmu lebih luas kepada kami," kata Pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah, Surabaya, Jawa Timur itu.

Lebih lanjut, Kiai Miftach juga menyampaikan permohonannya untuk berlindung dengan cahaya Allah yang menjadikan baik segala urusan dunia dan akhirat.


"Kami berlindung dengan cahaya Dzat-Mu yang telah engkau pancarkan ke arah segala kegelapan menjadi baiklah di atasnya segala urusan dunia dan akhirat," ujarnya.


Kiai yang kini berusia 70 tahun itu juga memohon perlindungan dari kemurkaan Allah. "Kami berlindung daripada turunnya kepada kami murkaMu atau berlakunya kepada atas kami murkaMu," katanya.


Sebab, hanya kepada Allah-lah, pengaduan yang sungguh-sungguh sehingga mencapai keridaan-Nya. "Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan-Mu," lanjutnya.


Penghambaan juga ditunjukkan dengan pernyataan diri sebagai orang faqir dan bodoh.


"Ya Allah ilahana kami adalah fakir di saat orang lain menganggap kami kaya. Kami tidak bisa membayangkan betapa makin fakirnya kami manakala orang lain yakin kami ini betul-betul fakir," ujarnya.


"Ya Rabb. Ilahana (Tuhan kami). Kamilah orang yang jahil (bodoh) di saat kami menyandang gelar ilmuwan betapa hal ini tiada lebih jahil manakala nyata-nyata kami jahil," lanjutnya.


"Ya Rabbana Ilahana Silih bergantinya ketetapan-mu dan cepat sampainya takdir-Mu itu semua telah membuat orang-orang Arif menahan diri dari rasa puas atas sebuah pemberian dan menahan jauh rasa putus asa dalam bingkai cobaan-Mu," pungkas Kiai Miftach.