Jakarta, NU Online
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada Kamis (13/12).Â
MK menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa 'usia 16 (enam belas) tahun' pada UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Batas usia 16 tahun itu kerap kali dilanggar oleh oknum yang meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama. Hal meminta pengecualian melalui putusan pengadilan itu memang dibolehkan oleh regulasi, namun seharusnya tidak disalahgunakan.
"Seharusnya jalan itu tidak disalahgunakan untuk kasus-kasus yang tidak sesuai dengan maksud adanya pengecualian," kata Andi Najmi Fuadi, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kepada NU Online pada Jumat (14/12).
Hakim menurutnya, harus bisa membaca secara cermat setiap permohonan yang masuk, sebelum mengambil keputusan.
Pelanggaran terhadap syarat yang diharuskan UU Perkawinan tentu berdampak hukum, baik terkait sah atau tidak sahnya perkawinan maupun resiko hukum bagi pihak-pihak yang terlibat melakukan pelanggaran tersebut.
Terkait putusan MK, baru berlaku efektif setelah DPR merevisi UU 1/74. Sejauh belum ada putusan DPR yang baru, tentu perkawinan bagi perempuan yg berusia 16 tahun tetap dinyatakan sah.
Sementara itu, Susianah Affandi, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berpandangan bahwa edukasi kepada masyarakat menjadi hal penting dalam menekan angka pernikahan dini. Sebab, keluarga adalah pilar penting dalam perlindungan anak. (Syakir NF/Muiz)