Jakarta, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Tahlibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) mengungkapkan bahwa pesantren telah banyak melahirkan seorang sastrawan. Menurutnya, hal ini dikarenakan pesantren tidak hanya belajar ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu sastra, dan tata bahasa Arab sebagai perangkat untuk memahami isi kitab.
"Sastra itu makanan orang pesantren. Itu yang membedakan orang pesantren dan bukan," ucap Gus Mus saat memberikan sambutan pada perhelatan Muktamar Sastra, Rabu (19/12) di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur dikutip NU Online dari livestreming yang beredar di media sosial.
Kiai yang juga dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan ini menyebut sejumlah nama kiai yang mempunyai kemampuan di bidang sastra, antara lain KH Abdul Hamid Pasuruan.
"Mbah Hamid sejak di Tremas sudah dikenal sastrawan. Kiai As’ad (Syamsul Arifin) juga sastrawan. Tapi, keduanya lebih menonjol kewaliannya. Ini kebalikan saya lah," terang Gus Mus disambut tawa ribuan hadirin yang terdiri dari santri dan sastrawan di Pesantren Sukorejo.
Mustasyar PBNU ini mengungkapkan bahwa sastrawan pesantren lainnya adalah Hadhratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Menurutnya, Mbah Hasyim suka membuat syair saat ada perbedaan pandangan dengan ulama lain agar tidak dipahami langsung oleh santri.
"Ini untuk menyembunyikan perbedaan pandangan di antara mereka supaya santri tidak menganggap permusuhan. Saking hati-hatinya, mereka gunakan syair," tuturnya.
Hadir dalam Muktamar Sastra ini, Menag Lukman Hakim Saifuddin, Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi'iyah KH Ahmad Azami Ibrahimy, penyair KH D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, KH Mutawakkil Alallah, dan ratusan sastrawan dari sejumlah daerah.
Muktamar Sastra berlangsung hingga 20 Desember 2018. Muktamar didesain dalam sidang pleno dan diskusi panel. Gus Mus juga dijadwalkan akan menyampaikan pidato kebudayaan dengan tajuk "Santri, Sastra, dan Peradaban". (Fathoni)