Nasional

Cerita Kiai Said Aqil Tolak Wawancara TV soal Bursa Ketum PBNU

Rab, 13 Oktober 2021 | 05:45 WIB

Cerita Kiai Said Aqil Tolak Wawancara TV soal Bursa Ketum PBNU

Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Menjelang perhelatan Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) di Provinsi Lampung, pada 23-25 Desember 2021, terjadi hiruk-pikuk mengenai pencalonan atau bursa ketua umum di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).


Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj yang digadang-gadang akan memimpin kembali organisasi keagamaan dan kemasyarakatan itu, memiliki pandangan menarik mengenai adab yang harus dijaga di lingkungan NU. 


Salah satu adab yang ditunjukkan Kiai Said adalah menolak hadir dalam wawancara siaran langsung di salah satu stasiun televisi nasional yang mengangkat tema soal bursa ketua umum PBNU. 


“Suatu hari, saya diminta untuk mewakili Kiai Said dalam wawancara live di salah satu TV nasional. Kiai Said menolak hadir mengingat topiknya adalah tentang bursa ketua umum PBNU. Dalam pandangannya, harus dikuatkan kembali bahwa dalam konteks kepemimpinan di NU ada adab yang harus dijaga,” kata Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini, dalam sebuah unggahan di instagramnya, Rabu (13/10/2021).  


Tradisi penjagaan terhadap adab itu sebagaimana para kiai NU yang hendak shalat berjamaah tetapi kemudian selalu saling mempersilakan orang lain untuk menjadi imam. Inilah yang disebut sebagai mendahulukan adab di atas ilmu. 


“Pelajaran tentang akhlakul karimah dari para kiai NU: berebut menjadi makmum,” tutur Helmy, penulis buku Nasionalisme Kaum Sarungan itu.


Penjelasan mengenai akhlakul karimah dan adab itu disampaikan Kiai Said, saat menghadiri pengajian rutinan kitab Al-Hikam yang diampu oleh KH Anwar Mansur, di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.


“Kiai Said dengan sangat memukau menjelaskan, semua manusia pada dasarnya memiliki keinginan. Namun sering sekali kita tidak dapat membedakan mana keinginan yang  baik dan buruk. Itulah yang disebut hawa nafsu yang terdiri dari beberapa jenis,” tambah Helmy. 


Pertama, nafsu ghadlabiyah. Sebuah nafsu yang mendorong manusia kepada ambisi yang jika dilakukan dengan niat, cara, dan tujuan baik maka nafsu ini justru akan menjadi suara kebaikan. Nafsu ini lantas berubah bentuk menjadi himmah atau cita-cita yang mulia. 


“Tujuan akhirnya, li i’lai kalimatillah (untuk meninggikan kalimat Allah), sehingga segala cita-cita jika dilakukan dengan cara, niat dan tujuan baik merupakan himmah. Nabi Muhammad adalah contoh terbaik sebagai tokoh zaman yang memiliki himmah sangat besar,” terang Helmy, membahasakan ulang penyampaian Kiai Said, di Lirboyo.


Kedua, nafsu syahwatiyah. Suatu hasrat yang mendorong pada kesenangan. Namun jika nafsu ini dapat dikerjakan untuk sesuatu yang bermanfaat besar bagi kemanusiaan maka dapat berubah menjadi adzimmah atau kebaikan dan kemaslahatan.


“Demikianlah kerendahan hati Kiai Said, yang dalam sepuluh tahun memimpin NU telah melahirkan banyak karya besar,” ujar Helmy.


Ia lantas menyebutkan berbagai karya Kiai Said selama memimpin NU. Di antaranya mendirikan 36 universitas NU, Rumah Sakit NU, program penguatan basis ekonomi di kalangan pesantren melalui NU-Care LAZISNU mencapai Rp1,6 triliun pada 2021, transformasi digital melalui super aplikasi KARTANU dan NU Online yang menjadi kebanggaan Nahdliyin. 


Helmy berharap, NU ke depan harus menjadi organisasi yang mandiri, kuat, dan kokoh sebagai pilar pemersatu bangsa. Terkhusus menjadi penyangga utama Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Bumi Nusantara. Bahkan, diharapkan NU dapat menjadi pusat peradaban khazanah Islam Nusantara yang disegani di seluruh dunia. 


Diketahui, Helmy mengunggah foto suasana khusyuk Kiai Said sedang berziarah dan duduk bersimpuh di hadapan makam para kiai pendiri Pesantren Lirboyo. Foto tersebut diambil langsung oleh Helmy pada 7 Oktober lalu. 


Ketika itu, Helmy turut mendampingi lawatan silaturahim Kiai Said ke para kiai sepuh. Di antaranya Tuan Guru Turmudzi Lombok, Habib Luthfi bin Yahya, KH Dimyati Rois, KH Anwar Mansur dan KH Huda Djazuli Ploso.


Selain silaturrahim, kegiatan lainnya adalah ziarah ke makam Hadratusyyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan makam para kiai serta pendiri jam’iyyah (organisasi) Nahdlatul Ulama.


“Mereka (para pendiri NU itu) tidak mati. Mereka selalu hidup. Karena ilmu yang mereka ajarkan menjadi jalan kebaikan, menjadi cahaya yang menghidupkan,” ujar Kiai Said, disampaikan Helmy.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad