Nasional ANJANGSANA ISLAM NUSANTARA

Cara Ulama Nusantara Bangun Jejaring Keilmuan

Sen, 13 Januari 2020 | 11:30 WIB

Cara Ulama Nusantara Bangun Jejaring Keilmuan

KH Tubagus Asep Zulfiqar (kiri) bersama pengajar Fakultas Islam Nusantara Unusia di kediamannya di Pagentongan, Bogor, Jawa Barat, Senin (13/1). (Foto: NU Online/Syakir NF)

Bogor, NU Online
Ulama-ulama Nusantara dalam menyebarkan pengetahuannya tidak saja melalui metode pengajaran, tetapi juga dengan membangun jejaringnya.
 
KH Tubagus Muhammad Tohir, putra KH Tubagus Muhammad Falak, misalnya. Usai mengaji pada satu kiai, ia diberikan surat oleh gurunya tersebut untuk diantarkan ke kiai yang lain guna mentashih keilmuannya.

Hal tersebut disampaikan oleh cucunya, yakni KH Tubagus Asep Zulfiqar, kepada para pengajar Fakultas Islam Nusantara (FIN) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) saat mereka sowan di kediamannya di Pagentongan, Bogor, Jawa Barat, Senin (13/1).

Selanjutnya, untuk menjaga hubungan tersebut, keturunannya juga mengaji di pesantren yang sama. Misalnya, mengingat Mama Falak pernah berguru kepada Kiai Abdullah Panguragan, Cirebon, putra-putra kiai di daerah Sunda juga berguru ke sana.

Idris Masudi, Wakil Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU, menyampaikan bahwa biasanya putra kiai-kiai Sunda selama 40 hari tirakat di Cirebon, mengaji kepada keturunan Kiai Abdullah.

Di samping itu, Pesantren Pagentongan juga, katanya, menjalin hubungan kekeluargaan dengan pesantren-pesantren lain, seperti Al-Masthuriyah Sukabumi, Al-Musyaddadiyah Garut, hingga dengan keluarga Kiai Asrori Al-Ishaqi Surabaya.

Pengajar Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Syamsul Hadi menyampaikan bahwa dua hal tersebut, yakni berguru dan menikahkan putra-putrinya adalah cara ulama Nusantara membangun jejaring keilmuannya. Hal itu juga, menurutnya, merupakan cara membangun ikatan kekerabatan.

Senada dengan Syamsul, Penulis buku Mahakarya Ulama Nusantara Ahmad Ginanjar Sya'ban menyatakan bahwa hal demikian juga dilakukan oleh para ulama lainnya di zaman tersebut hingga saat ini. 

Di samping itu, Tubagus Asep juga menjelaskan bahwa meskipun pesantrennya berada di wilayah Sunda, bahasa yang digunakan untuk memaknai kitab referensi adalah bahasa Jawa.

Hal itu, menurutnya, dilakukan sebagai bentuk mengalap berkah, selain karena memang bergurunya ke daerah yang berbahasa Jawa.

Tak ayal, muncul ungkapan kesantrian itu sempurna jika sudah mengaji ke daerah timur, yakni Jawa Madura. "Belum sempurna kesantrian kalau belum ke Timur (Jawa Madura). Belum jadi ulama kalau belum (belajar) ke Makkah," ujarnya.

Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad