Nasional

Buku Kawruh Jiwa Ungkap Sisi Spiritual Ki Ageng Suryomentaraman

NU Online  ·  Rabu, 30 Mei 2018 | 22:45 WIB

Buku Kawruh Jiwa Ungkap Sisi Spiritual Ki Ageng Suryomentaraman

Abdullah Wong (kiri) dan Muhaji Fikriono (kanan).

Jakarta, NU Online
Penulis kajian tasawuf Jawa, Muhaji Fikriono atau Adji Fikri meluncurkan karya terbarunya, Kawruh Jiwa, Warisan Spiritual Ki Ageng Suryomentaraman. Peluncuran ini ditandai dengan diskusi atau bedah buku pada program Dialog Ramadhan ketiga di Paramadina Pondok Indah Plaza 1 Jakarta Selatan, Selasa (29/5). Diskusi menghadirikan budayawan muda sebagai pengulas, Abdullah Wong.

Buku Kawruh Jiwa, Warisan Spiritual Ki Ageng Suryomentaraman mengupas pemikiran-pemikiran batin dan merupakan rangkuman pengetahuan yang lahir dari pengalaman hidup Ki Suryomentaraman, seorang keturunan keraton Yogyakarta yang memilih hidup sebagai rakyat biasa.

Muhaji menyampaikan dirinya tertarik menulis buku tersebut setelah melakukan kajian secara intensif terhadap wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram pada tahun 2005. “Ya, setelah tahun 2002 penulis mendapat buku Penyimpangan-penyimpangan Tasawuf terbitan Rabbani Press 2001, yang merupakan terjemahan dari kitab Al-Fikrush Shufiy karya Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq (pendiri yayasan Ihya’ut Turats Al-Ijtima’i, Kuwait), penulis berkesempatan mengikuti kajian yang konon diniatkan untuk membedah kandungan kitab Ihya’ Uluwmud Diy karya Imam Abu Hamid Al-Ghazali,” papar Muhaji kepada NU Online.

Kajian membedah kitab Ihya’ Uluwmud Din, yang karenanya para ulama berkompeten menjuluki Al-Ghazali sebagai Hujjatul Islam (Sang Pembela Islam) itu, ternyata hanya merujuk pada buku terjemahan 68 halaman berukuran 11x15 centimeter. “Judulnya Ihya Ulumuddin dalam Pandangan Para Ulama terbitan Darul Qalam Jakarta 2003,” ujarnya. 

Di antara kutipan dalam buku saku itu terdapat kalimat yang menurut penulisnya dikatakan oleh Abdul Lathif Al-Hanbali, “Saya beritahukan kepada mereka tentang penyimpangan-penyimpangan yang dzalim dalam kitab Al Ihya’, takwil-takwil sesat yang merugikan, dan perkataan fasih yang mengandung penyakit terpendam serta filsafat yang dijadikan dasar agama. Sedangkan Allah telah memerintahkan dan mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengikuti rasul-rasul-Nya juga untuk beristiqamah di atas jalan orang-orang yang beriman. Ini adalah dasar yang kokoh dan ini adalah satu-satunya yang dapat menegakkan Islam.” (hal. 48).

Ia juga mengilas balik, sewaktu nyantri pada saat kelas II Aliyah ia sempat mendapat pelajaran tasawuf. Kitab ajarnya adalah Kifayatul Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’ karya Sayyid Bakri al-Makki Bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi. “Berbekal pelajaran dasar tasawuf di bangku sekolah itulah kemudian penulis berusaha mendalami kitab-kitab tasawuf, termasuk karya Al-Ghazali dari mulai Bidayatul Hidayah hingga Misykatul Anwar. Dan setelah di Jakarta, penulis ikut mengaji kitab-kitab karya Ibnu ‘Arabiy, kitab Al-Asfar Mulla Shadra, dan yang lainnya,” kisahnya.

Setelah mengikuti pengajian seorang ustadz, Muhaji kian terdorong untuk memfokuskan diri mengkaji pemikiran Ki Ageng dari sudut pandang kaum sufi. Apalagi dari kajian tentang Ibn ‘Arabiy ia menggarisbawahi penegasan Sang Syaikhul Akbar bahwa Tuhan itu ada dua macam, yaitu Tuhan dalam keyakinan dan Tuhan sebagaimana ada-Nya.

“Dalam Kawruh Bab Kawruh inilah Ki Ageng menegaskan pentingnya pemilahan antara kawruh keyakinan (pengetahuan yang bersumber dari katanya-katanya, duga-duga, serta memantas-mantas dengan otak-atik logika) dan kawruh nyata (pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu secara apa adanya),” lanjutnya.

Buku yang membahas penyimpangan ulama sufi seperti Abdul Karim Al-Jilliy, Abu Yazid Al-Busthami, Ibn ‘Arabiy, Al-Ghazali, telah memberikan jawaban sementara tentang mengapa Ki Ageng merasa perlu menegaskan bahwa wejangan-wejangannya bukanlah ajaran agama ataupun ilmu kebatinan. “Tak hanya sampai di situ, Ki Ageng juga menegaskan bahwa apa yang diwejangkannya hanyalah sesuatu yang sangat sepele dan tidak perlu dibesar-besarkan,” kata penulis kelahiran Pati, Jawa Tengah.

Hal itu, lanjut Muhaji, sebagaimana yang ditulisnya dalam kalimat penutup Uran-uran Begja, “Yen suraosing uran-uran nginggil wau manjing wonten ing manah, saged ngedalaken raos, yen tiyang gesang punika sepele kemawon, boten wonten ingkang ageng-agengan utawi peng-pengan. Raosing gesang punika, kados tiyang mentas botohan ageng-agengan, lajeng lud-ludan pei. Sepele, sepele, sepele…” (Jika intisari dari Uran-uran Begja  udah tertanam di hati, ia dapat melahirkan kesadaran bahwa orang hidup itu sepele saja, tidak ada yang perlu dibesar-besarkan dan disikapi terlalu serius. Hakikat rasa orang hidup itu ibarat orang yang habis bertaruh besar-besaran, lalu iseng-iseng bermain gaple. Sepele, sepele, sepele…)

Pemikiran Ki Suryomentaraman yang universal menjangkau banyak jiwa sehingga Presiden Soekarno pun berguru kepadanya. Lebih dari empat puluh tahun Ki Suryomentaraman meneliti kedalaman rasa, hingga melahirkan pengetahuan yang jernih untuk memahami manusia apa adanya, menuntun sesamanya agar sanggup memahami rasa dalam dirinya.

Ki Suryomentaraman sendiri lahir pada 20 Mei 1892. Ia adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono ketujuh. Ki Suryomentaraman wafat pada tahun 1962.

Kehadiran buku Kawruh Jiwa, menambah deretan karya Muhaji Fikriono sebelumnya di antaranya Al Hikam Ibnu Athailah untuk Semua, Makrifat Jiwa untuk Semua, Puncak Makrifat Jawa. (Kendi Setiawan)