Nasional PENGUKUHAN GURU BESAR

Benarkah Tasawuf Biang Kemunduran Umat Islam?

NU Online  ·  Sabtu, 29 November 2014 | 04:40 WIB

Surabaya, NU Online
Tasawuf memang sering mendapatkan kritikan dan tuduhan menyakitkan. Beberapa orientalis dan pemikir Muslim sendiri tidak sedikit yang menuduh tasawuf menjadi biang kemunduran peradaban Islam. Tasawuf dituduh sebagai ‘virus’ yang menghambat kemajuan dan menyebabkan ketertinggalan dunia muslim dalam kancah peradaban modern.<> Ajaran dan doktrin-doktrin tasawuf dianggap tidak relevan dengan spirit era global dan modernisme. 

Begitupun, kelompok-kelompok Islam puritan menganggap tasawuf sebagai bid’ah dan khurafat yang menyesatkan, seperti kita lihat akhir-akhir ini dengan kemunculan kelompok Islam radikal-puritan/salafi-wahabi. 

“Padahal bila kita baca dalam sejarah, banyak para sufi yang justru memajukan peradaban Islam. Para sufi dikenal dengan keilmuannya yang ensiklopedis. Kita bisa sebutkan seperti Syekh Sahl At-Tasturi, sufi yang ahli tafsir. Syekh Ibnu Arabi, sufi yang mengedepankan tasawuf-falsafi dikenal pula sebagai ahli tafsir dan hadits. Syekh Ibnul Farid  dan Syekh Fariduddin Al-Aththar adalah dua figur sufi yang dikenal luas sebagai sastrawan,” kata Kiai Said Aqil dalam pidato pengukuhan guru besar Ilmu Tawasuf di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Sabtu (29/11).

Demikian pula, ia menjelaskan banyak sarjana-sarjana muslim yang menyatakan bahwa apa yang disebut tasawuf tak lebih dari etika Islam. Karenanya, tasawuf cukup saja diberi label sebagai moralitas Islam. Tujuan tasawuf dalam hal ini adalah sama dengan tugas Nabi Muhammad Saw., yaitu: ”Tidaklah Aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak yang luhur”.

“Menurut hemat Saya, pendapat tersebut tidak benar. Cakupan tasawuf bukan sekedar etika, tapi lebih penting dari itu tasawuf mengurai dan berkecimpung dalam wilayah estetika. Tasawuf tidak lagi bicara soal baik buruk, tapi berbicara tentang sesuatu yang indah. Ia selalu mengaitkan dengan jiwa, roh, dan intuisi. Ia tidak hanya membangun dunia yang bermoral, tapi juga sebuah dunia yang indah dan penuh makna.” 

Ia menegaskan, tasawuf melampaui apa yang diserap oleh pikiran, perilaku dan perasaan manusia secara penampakan. Tasawuf tidak bisa diturunkan derajatnya hanya semata perbuatan yang secara lahiriah sebagai kebajikan seperti, bersedekah atau kebajikan sosial lainnya. Bukan pula, tasawuf diidentikkan secara ekstrem sebagai wahana untuk memperbanyak ibadah (katsrah al-ibadah) khususnya yang sifatnya ritual. Tarekat pun yang dipandang sebagai pelembagaan dari praktik tasawuf tidak mesti disejajarkan dengan makna tasawuf. 

“Apalagi, tasawuf kemudian disamakan dengan ilmu hikmah yang berfungsi sebagai pengobatan dan penyembuhan segala problem konkrit manusia yang lebih bersifat instan. Misalnya karya Imam Ali Al-Buni yaitu kitab Syamsul Al-Ma’arif atau juga karya Imam Ad-Dairabi yaitu kitab Al-Mujarrabat,” tandasnya.

Tasawuf, kata Kiai Said yang menyelesaikan doktornya di universitas Ummul Qura Makkah, bukan pula spiritualitas yang sekedar menjadi tempat pengasingan diri. Tasawuf berusaha menampilkan visi keagamaan yang otentik yang mengarahkan diri untuk melampaui diri. Sebuah visi yang tepat dalam menafsirkan dunia, dunia lain di luar dunia ini yang mungkin ada dan melingkupi seluruh realitas. Sebuah komitmen yang lebih besar dari sekedar tujuan perkembangan pribadi dan spiritualitas semata. Sebuah obsesi yang lebih tinggi dari sekedar pemahaman hidup di dunia dan materi. 

“Karena tasawuf merupakan bentuk dari ajaran Islam itu sendiri, maka ia banyak menjanjikan untuk memenuhi hasrat hidup manusia seutuhnya dari pada janji-janji spiritualisme sekejap. Ia bukan hanya untuk memahami realitas alam, tetapi ia juga untuk memahami eksistensi dari tingkat yang paling rendah hingga yang paling tinggi, yaitu kehadiran Allah (tajalli).” (mukafi niam)