Jakarta, NU Online
Putra kiai atau gus dan putri kiai atau ning tentu diharapkan orang tuanya untuk bisa menjadi pelanjut pesantren di masa yang akan datang. Namun, tentu saja, mereka harus dikader terlebih dahulu sebagaimana ayahnya ketika mendirikan atau juga melanjutkan pesantren dari orang tuanya.
Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Al-Huda Boyolali KH Habib Ihsanuddin, putra-putri kiai harus sejak dari awal mempelajari agama secara paripurna, artinya tidak sepotong-sepotong.
“Kalau belajar tafsir Al-Qur’an ya 30 juz. Kalau hadits ya namanya Muslim 4 jilid, Bukhori 4 jilid, dan dimulai dari bawah nahwunya, sharaf, badi’, ma’ani, bayan, balaghah,” katanya beberapa waktu lalu ketika ditemui di kediamannya.
Sehingga, kata dia, gus dan ning bisa memahami agama secara paripurna. Tak hanya itu, mereka juga harus mengenyam pendidikan formal. Kalau tidak disertai dengan formal, dia hanya akan bisa membaca kitab, tapi tidak bisa membaca tanda-tanda zaman.
“Oleh karena itu kedua-duanya harus ada. Dia nyantri, juga sekolah,” lanjutnya.
Tak berhenti di situ, putra-putri kiai juga harus belajar berorganisasi karena hal itu pendidikan yang sangat bagus.
“Banyak sekali kiai-kiai yang yang tidak berorganisasi itu enggak tahu keadaan sekarang seperti di Jakarta, enggak tahu apa-apa, tapi masuk organisasi dari IPNU, Ansor, naik di NU, insyaallah akan tahu. Dia akan bisa,” jelasnya.
Tak hanya, mereka juga harus rajin membaca pikiran kiai. Misalnya buku Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sampai Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
“Sehingga kita akan bisa tahu para sesepuh dulu bagaimana perjuangannya. Juga para pimpinan sekarang. Kita kombinasikan. Insyaallah itu akan tahu tanda-tanda zaman,” pungkasnya. (Abdullah Alawi)