Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Umum PBNU masa khidmah 2010-2015, H As’ad Said Ali turut mengomentari biografi Kiai Hasyim Muzadi yang dibedah Jumat (20/4) siang di Islamic Book Fair (IBF) 2018.
Melalui laman facebook-nya As’ad Said Ali yang diunggah Jumat (20/4) malam, As’ad memulainya dengan kalimat "Renungan terinspirasi Bedah buku biografi Kyai Hasyim Muzadi."
Menurut As’ad, KH Hasyim Muzadi adalah sosok yang suka berdialog dengan siapa saja, tidak terkecuali dengan kelompok yang berbeda teologi dengan NU. Bahkan KH Hayim Muzadi sangat akrab dengan Muhamadiyah.
“Seandainya beliau masih hidup tentu beliau bersedia dialog dengan siapapun termasuk kelompok yang menganggap Kitab Suci adalah fiksi alias pengagum sekularisme. Sedangkan alm sebagai ulama memahami epistimologi Bayan ( nash ), Irfan ( tasawuf ) dan Burhan ( rasio ),” demikian As’ad dalam status tersebut.
Alumnus Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta itu mengungkapkan pengalaman sebagai mantan intelijen juga menggunakan ketiga epistimologi Bayan.
“Persoalannya adalah apakah pengagum sekularisme mau berdialog dengan orang seperti Pak Hasyim. Kaum Sekuler inilah yang dalam sidang knstituante 1956 - 1959 mempunyai tafsir yang berbeda secara diametral dengan kaum agamis krn mereka memaknai sila pertama Pancasila secara sekuler,” lanjut As’ad.
Menurutnya kaum ulama nasionalis menganggap bahwa negara menoleransi agama dengan memberikan kebebasan, melindungi dan memfasilitasi. Sebaliknya agama menoleransi negara dengan tidak memaksakan syariatnya menjadi hukum nasional (ranah publik) sejauh dianggap bertentangan dengan keberagaman.
Adapun syariat yang tidak menjadi hukum nasional dilaksanakan oleh masyarakat sendiri dalam ranah privat. Pandangan kaum sekuler pada era reformasi yang berusaha memaksakan doktrinnya dengan terminolgi "kitab suci" adalah fiksi inilah yang menjadi ladang subur bagi tumbuhnya radikalisme agama.
“RENUNGKANLAH ......... !” tututpnya. (Kendi Setiawan)