Nasional ISLAM NUSANTARA (3)

Anti Kasta, Wali Songo Ajarkan Kesetaraan

Rab, 4 Maret 2015 | 02:02 WIB

Jakarta, NU Online
J
ejak Wali Songo di Nusantara, khususnya di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) masih terpatri di benak masyarakat hingga kini. Perubahan yang diajarkannya sudah tentu melahirkan pro-kontra, khususnya dari pihak kerajaan.<>

Di hadapan para dosen Pascasarjana STAINU, sejarawan NU KH Agus Sunyoto mengemukakan banyak fakta sejarah. Para dosen pun terkaget-kaget dengan temuan Wakil Ketua PP Lesbumi ini.

“Para kawulo oleh Wali Songo diajari untuk menyebut kata ganti diri ingsun, bukan kulo. Padahal waktu itu, ingsun hanya digunakan oleh para raja. Nah, tiba-tiba masyarakat kok menyebut diri mereka ingsun. Aparat marah betul termasuk Sultan Trenggono pun marah dengan konsep itu karena dianggap mengubah (tradisi),” papar Agus.

Yang lebih ekstrem, lanjut Agus, mereka lalu dijatuhi hukuman. Ajaran lainnya, tidak boleh membayar pajak ala Syekh Siti Jenar, juga dilarang kerajaan. Siti Jenar menganggap Islam tidak pernah mengajarkan bayar pajak. Memang, pajak waktu itu sangat berat. Orang miskin pun diwajibkan membayar juga.

“Kalau dia tidak punya rumah dan tidak punya uang, lalu bayarnya dengan apa? Dia tiga empat kali harus bekerja membabat rumput alun-alun keraton. Atau dia menjaga rumahnya pejabat tanpa dibayar, karena itu merupakan gantinya bayar pajak,” tuturnya.

Menurut Agus Sunyoto, konsep tersebut berkembang di daerah pantai utara. Karena pada 1870 saat pemerintah Hindia Belanda memberlakukan UU Agraria mereka mendapati di Yogyakarta dan Surakarta tidak mengenal hak milik.

“Jadi, ternyata tanah itu milik Keraton semua. Orang ndak punya hak milik. Ini menunjukkan perubahan Wali Songo hanya diikuti penduduk pesisir, sementara masyarakat pedalaman masih menggunakan konsep lama,” tandasnya.

Hingga sekarang, lanjut Agus, orang pedalaman masih menyebut dirinya kawulo. Kalau nyebut ingsun justru dianggap tidak tahu tataran atau tatakrama. Sebaliknya di Cirebon, Jawa Barat menggunakan kata ingsun. Begitu juga di Giri, Gresik, Jawa Timur. “Perubahan ini sebelumnya nggak pernah ada. Konsep masyarakat baru ada pada zaman Wali Songo,” tandasnya.

Menurut Agus, Wali Songo konsisten mengawal perubahan sosial terhadap struktur masyarakat kuno yang membagi masyarakat ke dalam tujuh lapis (kasta). Dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah. “Itu khas Nusantara, tidak ada duanya di dunia,” tegasnya. (Musthofa Asrori/Mahbib)