Aliansi Jurnalis Independen Minta DPR Tunda RUU Penyiaran dan Libatkan Publik dalam Penyusunannya
NU Online · Selasa, 14 Mei 2024 | 23:45 WIB
Malik Ibnu Zaman
Penulis
Jakarta, NU Online
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dengan tegas menolak draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran yang sekarang sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). AJI pun meminta agar RUU ini ditangguhkan atau ditunda pengesahannya sampai ada DPR yang baru, karena persoalan penyiaran sangat kompleks.
"Kita, AJI sudah pasti menolak draf Undang-Undang ini, kita meminta agar DPR menangguhkan sampai ada DPR yang baru, karena ini prosesnya sangat kompleks Begitu kita bicara tentang penyiaran itu komplek," ujar Ketua AJI Nani Afrida kepada wartawan dalam Jumpa Pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5/2024).
AJI juga meminta kepada DPR dalam penyusunan RUU ini untuk melibatkan partisipasi masyarakat, terutama warga yang berhubungan dengan penyiaran.
Nani Afrida melihat bahwa rencana untuk menegasikan jurnalisme investigasi benar-benar di luar nalarnya sebagai jurnalis. Ia berpendapat bahwa jurnalisme investigasi adalah strata tertinggi dalam dunia jurnalisme dan tidak semua orang mampu melakukannya.
"Itulah yang membantu kadang-kadang aparat keamanan mendapatkan informasi. Jangan jauh-jauh, contohnya saja ketika kasus dana bantuan, dari mana munculnya ketika itu? Dari jurnalis," imbuhnya.
"Jadi kalau bisa tolong ditunda sampai masa kepengurusan DPR yang baru, kemudian melibatkan semua orang sehingga ini bisa tetap mempertahankan kemerdekaan pers kita," pungkasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan. Ia menilai beberapa pasal dalam draf terakhir RUU Penyiaran sangat merugikan bukan hanya bagi masyarakat pers tetapi juga publik.
"Kami dari IJTI sebenarnya sangat menghargai proses adanya Revisi Undang-Undang Penyiaran ini. Namun faktanya setelah kita menerima draf terakhir, itu ada beberapa pasal yang kemudian kami nilai sangat merugikan, bukan hanya bagi masyarakat pers tetapi publik," ujarnya.
Herik menyampaikan bahwa ada beberapa pasal yang dipertanyakan. IJTI berharap, RUU Penyiaran tidak disahkan.
"Lebih baik DPR mulai lagi proses pembuatannya, supaya prosesnya bisa maksimal, daripada buru-buru menyelesaikan, dan kemudian akibatnya akan sangat buruk dan yang paling terdampak adalah publik. Itu yang paling berbahaya," katanya.
"Kami menyampaikan hal-hal ini adalah posisinya menjaga independensi dan keberpihakan kami kepada publik. Saya tidak tahu apa yang terjadi kalau misalnya kemudian pasal-pasal ini kemudian lolos," imbuhnya.
Ia juga menyoroti pentingnya jurnalisme investigasi sebagai landasan utama dalam praktik jurnalisme. Mereka khawatir apabila jurnalisme investigasi sehingga masyarakat akan menerima informasi yang kurang akurat dan dangkal.
"Jadi sekali lagi kami bersikap bahwa IJTI menolak pasal-pasal tersebut, lebih baik dicabut saja daripada kemudian polemik berlanjut dan merugikan semua pihak," pungkas Herik.
Terpopuler
1
Gus Yahya Sampaikan Selamat kepada Juara Kaligrafi Internasional Asal Indonesia
2
Menbud Fadli Zon Klaim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Sedang Uji Publik
3
Guru Didenda Rp25 Juta, Ketum PBNU Soroti Minimnya Apresiasi dari Wali Murid
4
Khutbah Jumat: Menjaga Keluarga dari Konten Negatif di Era Media Sosial
5
PCNU Kota Bandung Luncurkan Business Center, Bangun Kemandirian Ekonomi Umat
6
Rezeki dari Cara yang Haram, Masihkah Disebut Pemberian Allah?
Terkini
Lihat Semua