Nasional

Aktivis Matan Terbitkan Buku Mediatisasi Agama dan Ketahanan Nasional

NU Online  ·  Ahad, 16 Desember 2018 | 15:00 WIB

Pekalongan, NU Online
Mahasiswa dan Ahlit Thoriqah al Muktabaroh an-Nahdhiyyah (Matan) menggelar Rakernas dan Temu Nasional. Acara berlangsung di Pendopo Kabupaten Pekalongan dan rumah dinas Ketua DPRD Pekalongan, Sabtu 15 Desember 2018.

Rakernas dilengkapi peluncuran buku Mediatisasi Agama, Post Truth dan Ketahanan Nasional. Buku ini merupakan karya kader Matan, Moh Yasir Alimi yang juga dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes).
 
Menurut Yasir, buku tersebut ditulis karena internet dan media sosial secara fundamental telah mengubah cara orang melakukan dan mengalami agama. Tetapi masih sangat sedikit pemahaman kita tentang bagaimana perubahan itu dan bagaimana dampaknya bagi kemanusiaan.
 
"Kita mengalami fase disrupsi digital di bidang agama," kata Yasir. Fase baru yang serba dimediasi ini ditandai antara lain dengan mediatisasi agama, yaitu proses di mana logika media secara ekstensif mempengaruhi agama, salah satu manifestasinya adalah digunakannya media sosial sebagai sumber utama  informasi agama.

Tanda berikutnya, maraknya hoaks yang mengeksploitasi agama untuk kepentingan politik; dan adanya post-truth yaitu kondisi di mana kebenaran, fakta dan bukti dianggap bukan hal yang penting, karena yang lebih penting adalah apa yang dijustifikasi sebagai kebenaran. "Bukan kebenaran karena verifiabilitasnya," ujarnya.
 
Ironisnya, lanjut Yasir, bila hoaks dan post truth di tempat lain lebih berkaitan dengan sains, politik dan ekonomi, di Indonesia, yang dieksploitasi untuk hoaks adalah agama. 
 
Media sosial membuat polarisasi yang tidak sehat dengan sebutan 'Kampret; dan 'Cebong' padahal Allah menyebut dengan sebutan yang mulia yaitu "Wahai orang-orang yang beriman"; "Wahai manusia"; dan sebutan- sebutan yang sangat halus sekaligus pemuliaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya. 
 
Yasir juga menyebutkan buku ini mendedah bagaimana hoaks dan ujaran kebencian beroperasi di dunia maya. Hal lain yang diungkap, termasuk mengapa orang pintar percaya hoaks, mengapa orang baik percaya hoaks dan menyebarkan kebencian, di mana mengalami radikalisasi dan bagaimana media sosial ikut menyebabkan radikalisasi?
 
Banal Religion
Buku ini juga mengajak kita untuk melihat munculnya banal religion, yaitu agama yang diyakini, diposting dan dibagikan di media sosial. Berbeda dengan agama institusional, yang diajarkan ulama, banal religion diajarkan aktivis politik, dibuat oleh cyber army, dan tidak jarang digunakan untuk menabrak negara dan budaya bangsa.

"Karena sifatnya yang politis, banal religion juga membutuhkan bendera,"katanya. 
 
Dalam menghadapi era ini, penulis mengajak Muslim Indonesia memperkuat jati diri (al huwiyyah) dan menggunakan acuan (al muttaba'ah). Menurutnya dalam era post truth, orang baik harus lebih aktif. Satu kebaikan akan menghilangkan keburukan-keburukan sebagaimana cahaya lilin menghilangkan kegelapan.
 
Ketua Umum Matan, KH Hamdani Muin dalam kesempatan tersebut mengapresiasi terbitnya buku mediatisasi agama. Menurutnya dalam menghadapi era post truth kita bisa mengaktualkan lima prinsip Matan yaitu tafaqquh fiddin (ngaji dan mendalami ilmu), tazkiyatun nafsi (penyucian diri), al mudawamah bidhikrillah (menghabituasi dhikir dan konektivitas kepada Alloh), iltizamut thoah (ketaatan kepada guru, ulama, kiai) dan al khidmah lil mujtamak (pelayanan kepada masyarakat).
 
Dalam kesempatan tersebut, Habib Puang Makka, pengurus idaroh aliyah Jatman yang berdomisili di Sulsel mengajak para pejuang penerus perjuangan Walisongo agar mempersiapkan diri menghadapi post truth dengan secara proaktif menghadirkan conten yang positif di jagat maya. (Red: Kendi Setiawan)