Jakarta, NU Online
Menjadi pengurus di lingkungan Nahdlatul Ulama, baik IPNU, IPPNU, Ansor, Fatayat ataupun lainnya, bukanlah sebuah ajang gagah-gagahan. Ada beban amanah agung yang mesti diemban, terlebih menjadi instruktur kaderisasi.
Peringatan ini disampaikan Mujiburrahman kepada peserta pelatihan “Upgrading Instruktur Nasional” yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU). Kegiatan diselenggarakan sejak Jumat hingga Sabtu (12-13/1) di Jakarta.
“Kita ini bekerja hanya untuk mendapat predikat santrinya Hadratussyekh, Mbah Hasyim Asy’ari,” kata Mujiburrahman, Sabtu (13/1).
Menurutnya, amanah itu yang harus dijaga dengan niat tulus tanpa kepentingan apapun. Jika hal ini telah melenceng, maka pengurus NU harus ingat satu hal, yakni niatkan diri sebagai santri Mbah Hasyim.
Menyandang predikat santri Hadratussyekh itu sebuah keberkahan tersendiri. Pendiri NU itu telah berdoa untuk mereka yang khidmah di jam’iyah ini supaya wafat dalam keadaan husnul khatimah beserta keluarganya. “Barangsiapa yang mengurusi NU, saya anggap sebagai santriku. Barangsiapa yang menjadi santriku, saya doakan husnul khatimah bersama keluarganya,” ujar Mujib menirukan perkataan Hadratussyekh.
Jika dirasa niat itu pada pelaksanaannya sudah keluar jalur, maka harus mulai lagi dengan bacaan bismillah dan niatkan seperti di awal.
Tidak semata bermodalkan niat, menjadi instruktur kaderisasi juga butuh riyadah yang kuat. “Harus puasa,” tegas Kordinator Daerah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah dan Yogyakarta tersebut.
Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah melakukan silaturahim dengan para kiai. Tidak hanya sebatas pada mereka yang masih hidup, tetapi juga kepada sesepuh yang sudah wafat dengan menziarahi makamnya. “Silaturahim dengan kiai, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup,” tuturnya.
Hal itu disebabkan menjadi anggota IPNU, khususnya, dan NU, tidak sebatas secara lahiriyah, tetapi juga harus menyentuh batiniyah. Tidak sekadar di dunia, tetapi terus berlanjut ketika sudah pindah ke alam lain.
“Kita harus yakin bahwa keanggotaan kita itu dhahiran wa bathinan, fil hayati wal mamati yakni lahir maupun batin, hidup maupun mati,” katanya. Karena kalau tidak melakukan itu, maka sejumlah materi pelatihan yang disampaikan tidak akan bisa diterima. (Syakir/Ibnu Nawawi)