Nasional

Akhlak Baik Menolong Ketika Defisit Amal

NU Online  ·  Sabtu, 4 Agustus 2018 | 08:00 WIB

Jakarta, NU Online
Belakangan ini muncul fenomena ekspresi keagamaan seseorang yang menjadi tinggi, namun di sisi lain malah tiba-tiba kehilangan simpati kepada orang lain. Sikapnya mudah menilai dan menghakimi jelek orang lain, terutama menyangkut hal-hal yang bersifat sensitif dan privasi.

“Sekarang kan banyak yang sedikit-sedikit tanya agamamu apa, aliranmu apa. Orang seperti ini semakin tidak menarik secara perilaku,” papar Ulil Abshar Abdalla saat mengisi rutinan Kopdar Ngaji Ihya’ di Masjid An-Nahdlah PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (2/08) kemarin.

Pria yang akrab disapa Gus Ulil itu menjelaskan bahwa perilaku begini tidak hanya gejala kekinian, tapi jauh pada zaman Nabi sudah ada kisah perempuan ahli ibadah yang dijengkelin para sahabat karena perilaku perempuan tersebut tidak sesuai dengan ketaatannya dalam beribadah ritual. Kisah ini diceritakan Gus Ulil sebagaimana hadits yang dibaca pada pertemuan sebelumnya.

“Akhlak yang baik bisa sebagai rekomendasi ketika defisit amal gara-gara dosa-dosa. Ibadahnya belum keren, tetapi kalau punya akhlak bisa tertolong di akhirat,” jelas Gus Ulil pada ngaji rutinan yang diadakan oleh Lakpesdam NU itu.

Dalam kesempatan itu, ia membacakan dan menjelasan beberapa hadits dan atsar tentang keutamaan akhlak baik dibandingkan ibadah ritual sunnah. Seperti kata seorang sufi Hasan Bashri, barangsiapa jelek akhlaknya maka akan menyiksa dirinya. Justru Yahya bin Muadz yang seorang sufi pernah pernah berkata, Di dalam akhlak yang bijak, tersimpan gudang rejeki. 

“Rasulullah pernah bersabda bahwa sesungguhnya seorang hamba yang jelek budi pekertinya akan mengantarkan dirinya itu pada paling bawahnya neraka jahanam,” kutipnya pada halaman 933 dalam Ihya’ Ulumiddin, kitab tasawuf yang fenomenal karangan Imam Ghazali.

Oleh sebab itu, Gus Ulil mengingatkan jangan meninggikan moral diri kita, lalu mudah menghakimi dan menilai orang lain. Cepat atau lambat akan membuat jengkel orang lain, dan dianggap tidak menarik lagi secara sosial.

“Kesalehan sosial itu lebih baik dibanding ahli ibadah sunnah. Ibadah ritual tanpa disertai kesalehan sosial kurang sempurna,” tegasnya. (M Zidni Nafi’/Muiz)