Nasional

Akademisi: Indonesia Surplus Beras

Rab, 24 Maret 2021 | 10:15 WIB

Akademisi: Indonesia Surplus Beras

Aksi tunggal petani menolak kebijakan impor beras. (Foto: Antara)

Jakarta, NU Online

Akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Malang (UNISMA) Supriyanto menegaskan, Indonesia seharusnya mampu menjadi eksportir beras, bukan justru mengimpor dari luar negeri. Hal ini berdasar pada data yang menunjukkan berbagai kelebihan yang dimiliki negeri ini. 


Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sawah di Indonesia pada 2020 seluas 7,4 juta hektar. Sementara lahan yang ditanami padi tercatat 10,79 juta hektar. Dengan demikian, terdapat tiga juta hektar di luar sawah yang ditanami padi. 


“Tahun lalu, produksi padi kita sekitar 55,16 juta ton. Jika dikonversi menjadi beras, ada sekitar 32 juta ton. Lalu kebutuhan beras kita setiap orang antara 90 hingga 95 kilogram per tahun. Tahun lalu 91,2 kilogram/tahun per orang. Dengan demikian kebutuhan beras kita per tahun 29,37 juta ton. Data ini dari Kementerian Pertanian pada 2020,” ungkap Supriyanto kepada NU Online, Rabu (24/3). 


“Berdasarkan data tahun 2020, produksi beras kita 31,63 juta ton. Jika diasumsikan produk kita sama dengan tahun lalu, maka kita akan menemukan hitungan selisih produksi 31,63-29,37 menjadi 2,26 juta ton. Artinya kita masih punya surplus (kelebihan) beras lebih dari 2 juta ton,” imbuh Dewan Pakar Petani Muda Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Timur ini. 


Pada tahun ini, lanjutnya, berdasarkan laporan triwulan pertama 2021 yang sedang berjalan, produksi padi negeri ini sedang meningkat. Hal ini berpengaruh pada jumlah surplus beras di Indonesia yang juga akan meningkat dari tahun lalu. 


“Jika pemerintah bermaksud mengimpor 1,1 juta ton, ini berarti akan double surplus. Sisa tahun lalu masih ada surplus 2,26 juta ditambah surplus panen tahun ini. Dengan data itu, mestinya pemerintah bisa melakukan ekspor beras dan bukan malah impor dari luar negeri,” tutur Supriyanto.


Karena itu, impor beras untuk saat ini dirasa belum tepat lantaran produksi beras di Indonesia diperkirakan meningkat dari tahun lalu. Asumsi tersebut menyiratkan bahwa kebutuhan beras dalam negeri masih cukup sehingga pemerintah Indonesia tidak perlu melakukan impor beras dari luar negeri. 


Lebih lanjut Supriyanto menyoroti stok beras di Gudang Banyuwangi yang masih sisa ratusan ton sejak impor beras pada 2018 dari Vietnam. Beras-beras di sana belum terpakai sehingga menjadi masalah yang sangat mengerikan.


Hal itulah yang membuat Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi bersikukuh untuk impor beras dari Thailand pada akhir bulan ini. Salah satu alasannya adalah karena mutu beras di Gudang Bulog Banyuwangi itu menurun. 


Supriyanto menyebutkan tiga penyebab menurunnya kualitas beras. Pertama, karena panen di Indonesia tidak selalu pada musim kering. Terkadang, panen terjadi di musim hujan sehingga kualitas beras menurun secara alamiah. 


Penyebab kedua adalah karena biaya produksi dalam negeri dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kemudian, terjadi hukum ekonomi. Ketika barang semakin jarang maka orang akan mengurangi konsumsi. 


“Artinya, ketika pupuk dan obat-obatan meningkat harganya, petani akan mengurangi volume penggunaannya. Akibatnya, kualitas beras menjadi menurun,” terang Supriyanto yang menjadi salah seorang Pengurus di Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Kabupaten Malang ini. 


“(Penyebab) ketiga adalah tata kelola kita belum bagus, sehingga beras itu menumpuk. Beras yang menumpuk terlalu lama itu tidak baik. Contoh kasus paling dekat yang sedang disorot itu adalah 3.000 ton beras tahun 2018 yang belum terpakai di Gudang Banyuwangi,” ucap Supriyanto.


“Ini fakta yang tidak bisa ditutupi, sehingga kalau dikatakan kualitas beras kita menurun, benar, tetapi menurun karena secara sistemik adalah kesalahan bersama. Bukan salah petani saja. Pemerintah tidak bisa menumpahkan kesalahan hanya semata pada petani sebagai produsen,” tegas akademisi yang juga mengajar di Program Studi Magister Manajemen Pascasarjana UNISMA ini. 


Sementara itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, salah satu pihak yang berencana mengimpor beras ini berjanji bakal mundur dari jabatan sebagai pembantu presiden, jika kebijakan impor beras terbukti salah. Hal itu dinyatakannya saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI pada Senin (22/3) lalu. 


“Saya mesti memikirkan yang tidak terpikirkan. Saya mesti mengambil keputusan yang tidak populer. Kalau memang saya salah, saya siap berhenti, tidak ada masalah,” ujar Lutfi.


Dijelaskan, opsi impor untuk memenuhi cadangan beras Bulog mencapai stok satu juta hingga 1,5 juta ton sudah diputuskan sebelum dirinya menjabat menteri. Saat itu, sudah ada notulen rapat di tingkat kabinet yang meminta Bulog di tahun ini menambah cadangan sebanyak 500.000 ton. Pada notulen disebutkan pengadaan beras bisa dipenuhi dari impor.


“Jadi (kebijakan impor beras) itu sudah ada sebelum saya datang. Maka waktu saya datang, saya melakukan penghitungan jumlahnya. Stok beras cadangan Bulog saat ini hanya sekitar 800 ribu ton. Sebanyak 270 ribu hingga 300 ribu ton dari stok itu merupakan beras hasil impor 2018 lalu,” terang Lutfi.


Sedangkan beras sisa impor itu berpotensi mengalami penurunan mutu. Artinya, tanpa menghitung beras impor maka stok beras Bulog hanya berkisar 500 ribu ton. Di sisi lain, penyerapan gabah oleh Bulog belum optimal pada masa panen raya. Hingga saat ini serapan gabah setara beras baru mencapai 85 ribu ton dari perkiraan yang seharusnya mendekati 500 ribu ton.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad