Nasional

Akademisi: Dampak Impor Beras Paling Bahaya adalah Petani Mogok Tanam Padi

Rab, 24 Maret 2021 | 07:45 WIB

Akademisi: Dampak Impor Beras Paling Bahaya adalah Petani Mogok Tanam Padi

Dampak yang akan dirasakan jika impor beras benar-benar dilakukan pemerintah Indonesia. Dampak paling bahaya dari adanya impor beras adalah para petani di desa akan mogok menanam padi.

 Jakarta, NU Online

Akademisi Universitas Islam Malang (UNISMA) Supriyanto menyebutkan berbagai dampak yang akan dirasakan jika impor beras benar-benar dilakukan pemerintah Indonesia. Dampak paling bahaya dari adanya impor beras adalah para petani di desa akan mogok menanam padi. 


“Ini dampak yang paling bahaya, petani enggan menanam padi. Kita akan menjadi importir beras dan itu akan memperburuk keuangan kita secara APBN. Jadi kalau pemerintah ekstrem (impor beras), petani akan mogok menanam. Duit negara akan habis hanya untuk membeli beras,” jelasnya, saat dihubungi NU Online, Rabu (24/3) pagi. 


“Jadi menurut saya ini krusial. Kalau petani mogok tidak mau menanam padi, itu menjadi masalah. Mungkin di luar negeri lebih murah. Tetapi itu kan stabilitas kita akan tergantung luar negeri dan itu bahaya,” terang Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNISMA ini.


Ia mencontohkan, jika Thailand dan Vietnam tahu bahwa Indonesia mengandalkan beras impor, maka bisa saja kedua negara itu akan menaikkan harga beras seenaknya. Kemudian, Indonesia bakal tergopoh-gopoh karena harga beras impor kian mahal.


Sebab pada setiap bisnis, pasti terdapat intrik politik. Thailand dan Vietnam akan melihat dan menghitung gelagat Indonesia. Jika para petani benar-benar mogok menanam padi maka bukan tidak mungkin kedua negara tersebut akan menggenjot harga menjadi lebih mahal.


“Tujuannya kan biar (Indonesia) kelimpungan dan lebih memilih impor. Kan begitu. Terlalu lugu sih orang-orang itu memahami pertanian, sehingga agak repot itu,” tegas Dewan Pakar Agrobisnis Rabithah Maahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) Jawa Timur ini. 


Ia membenarkan jika harga beras di luar negeri lebih murah. Hal tersebut lantaran biaya produksi di Vietnam dan Thailand cenderung terjangkau. Berbeda dengan biaya produksi di Indonesia yang cukup tinggi.


Sebab, para petani di Indonesia untuk mendapatkan air saja harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Mereka harus antre agar bisa memperoleh air. Jika tidak mengantre, dibuatlah sumur bor sendiri. 


“Kalau tidak begitu, mereka (petani) akan menggunakan saluran irigasi. Ini biayanya mahal semua. (Mesin) diesel itu kan juga menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan itu harus beli. Nah itu jadi mahal biaya produksi kita,” jelas Supriyanto. 


“Sehingga kalau dikatakan harga beras di luar negeri lebih murah, itu benar. Tapi in ikan kesalahan sistemik tidak bisa dibebankan atau ditumpahkan kepada petani, karena memang biaya produksinya mahal,” imbuhnya.


Dijelaskan, biaya produksi pertanian harus seimbang dengan harga jual. Dari harga Rp4200 per satu kilogram gabah kering giling, jika kualitas padi bagus, para petani hanya mendapat maksimal Rp5 juta per bulan, selama empat bulan. Laba per hektar sekitar Rp20 juta. 


Dampak impor beras yang selanjutnya adalah harga di tingkat petani akan turun. Hal ini akan memberikan beban yang sangat berat kepada para petani. Sebab, biaya produksi padi sangat tinggi, tetapi hasilnya kecil. 


Produksi gabah non-hibrida di Indonesia hanya berkisar delapan hingga sepuluh ton per hektar. Sementara yang hibrida hanya 12 ton per hektar. Jika sepuluh ton saja, itu berarti para petani hanya mendapat Rp40 juta per hektar dengan biaya produksi sekitar Rp20 juta. 


“Berarti petani itu hanya mendapat bagian bersih Rp5 juta per hektar. Sedangkan sawah per hektar itu harganya Rp800 juta. Modal seperti itu dapat Rp5 juta, jauh (selisihnya). Kasihan lah, kita hitung-hitungan ekonominya saja tidak kelihatan untungnya. Jadi begitu produksi di Indonesia,” jelas Pengurus Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Kabupaten Malang ini. 


Dampak berikutnya adalah harga beras akan menurun, bahkan sangat jatuh. Kalau beras harganya turun, tentu saja ongkos-ongkos produksi juga akan berat. Sebab, untuk memproduksi beras, para petani membutuhkan ongkos produksi pula.


Karena berbagai dampak yang akan ditimbulkan itulah, Supriyanto menegaskan bahwa impor beras untuk saat ini belum tepat. Sebab, produksi beras di Indonesia selama setahun ini diperkirakan meningkat beberapa persen dari tahun lalu.


“Dengan asumsi itu kebutuhan beras kita masih cukup. Jadi tidak harus impor,” tegas Dewan Pakar Petani Muda Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Timur ini. 


Ia menjelaskan, produksi rata-rata di Indonesia pada tahun lalu sebanyak 31,63 juta ton beras. Sementara tahun ini diperkirakan akan meningkat sekitar 35 juta ton. Artinya mengalami kenaikan sebesar empat juta ton.


“Kebutuhan rata-rata kita hanya 29 sampai 30 juta ton per tahun. Artinya surplus tahun lalu saja kita masih punya 2,26 juta ton,” ucapnya. 


Sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara tegas telah menyatakan penolakan keras terhadap rencana impor beras yang akan dilakukan pemerintah Indonesia bersama pemerintah Thailand. Penandatanganan kesepakatan itu akan dilangsungkan pada akhir bulan ini.


Salah satu alasan penolakan tersebut karena sebagian besar petani adalah Nahdliyin. Tak hanya itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengaku dihubungi petani di Karawang dan Indramayu bahwa stok beras masih mencukupi. 


“Saya menolak keras kesepakatan impor beras ini. Tolong nasib petani harus didahulukan, nasib para petani sebagai tulang punggung ekonomi bangsa ini harus diprioritaskan. Alih-alih untuk mendukung malah akan menghancurkan nasib mereka,” tutur Kiai Said, pada Jumat (19/3) lalu.


“Kata para petani, kalau pemerintah mau dibuktikan satu juta ton beras sekarang juga siap kami buktikan. Tidak usah besok atau lusa. Sekarang juga siap untuk membuktikan bahwa kami sudah punya ada beras satu juta ton,” ucap Kiai Said, menyampaikan informasi dari petani yang menghubunginya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad