Nasional

3 Peran Pesantren pada Era Wali Songo

NU Online  ·  Sabtu, 7 Juli 2018 | 19:00 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Ngatawi Al- Zastrouw mengatakan, pada era Wali Songo pesantren memiliki tiga peran penting. Pertama, jembatan yang menghubungkan budaya dan Islam. Bahkan, pada saat itu pesantren menjadi produsen kebudayaan. 

Wali Songo, jelas Zastrouw, memiliki kapasitas keilmuan agama yang memadahi dan kreatifitas yang tinggi sehingga mampu menjadikan pesantren sebagai jembatan penghubung antara budaya lokal dengan pemikiran Islam.

“Kedua, pesantren merupakan sanad kebudayaan yang jelas, yang menghubungkan tradisi keilmuan antara ulama Nusantara dengan ulama terdahulu, bahkan sampai nabi,” kata Zastrouw di Islam Nusantara Center (INC) di Tangerang Selatan, Sabtu (7/7).

Menurut Zastrouw, sanad keilmuan adalah hal yang penting dalam dunia pesantren. Pasalnya, fungsi sanad adalah untuk menjaga moral intelektual para ulama sehingga mereka memiliki pijakan yang jelas ketika ada kebuntuan dalam menghadapi masalah. 

“Ini (sanad) bukan menutup jihad,” tegasnya.

Ketiga, tempat dimana konstruksi kebudayaan Islam Nusantara digagas. Melalui pesantren, Wali Songo merekonstruksi kebudayaan Hindu-Budha yang berkembang pada saat itu. Wali Songo menggunakan unsur spiritual dalam mendakwahkan Islam. 

“Wali Songo lebih menekankan isi dari pada wadah atau simbol. Ini bukan berarti wadah atau simbol tidak penting,” terangnya.

Sementara itu, penulis buku Masterpiece Islam Nusantara, Zainul Milal Bizawie atau Gus Milal, mengatakan, muara dari Islam Nusantara adalah pesantren. Di sana, praktik-praktik keislaman dan kebudayaan dari ulama-ulama Nusantara terdahulu terwariskan hingga saat ini. 

“Di pesantren, sanad keilmuan dan kebudayaan terwariskan sehingga terus terjaga hingga hari ini,” kata Gus Milal.
Dalam sejarahnya, imbuhnya, setelah era Wali Songo peran pesantren bukan hanya sebagai tempat pembelajaran, tapi juga sebagai basis perlawanan terhadap penjajah.

“Pada zaman kolonial, kerajaan dikendalikan penjajah. Tapi pesantren tidak, dia terus menghembuskan semangat antikolonialisme,” jelasnya. (Muchlishon)