Nasional

10 Tahun Ngaji Suluk Maleman: Meneguhkan Kuda-kuda Peradaban

Sel, 18 Januari 2022 | 08:30 WIB

10 Tahun Ngaji Suluk Maleman: Meneguhkan Kuda-kuda Peradaban

Pemotongan tumpeng 10 tahun Suluk Maleman kepada salah seorang penggiat, Suroso. (Foto: Suluk Maleman)

Jakarta, NU Online

Suluk Maleman sudah memasuki tahun ke-10. Forum Ngaji Budaya yang digagas Habib Anis Sholeh Ba’asyin itu tetap konsisten membahas isu agama maupun kebangsaan dengan tagline Mencerahkan Pikir-Menjernihkan Hati.


Momen peringatan itu mereka rayakan meski masih dalam kemasan virtual seri dari rumah. Ngaji budaya itu diawali dengan pemotongan tumpeng 10 tahun Suluk Maleman. 


“Semoga bisa terus istiqomah menemani masyarakat menempuh kehidupan,” harap Anis Sholeh Ba’asyin yang juga budayawan asal Pati, Jawa Tengah itu, Ahad lalu.


Dalam ngaji Suluk Maleman episode ke-121 itu, Habib Anis pun tetap memberikan pesan yang mendalam. Di antaranya yakni pesan pentingnya merawat persatuan untuk menjaga tonggak Islam di peradaban dunia.

 

Dia menambahkan, dibutuhkan kuda-kuda kuat untuk menghadapi zaman yang kian menggila. Terutama dalam meneguhkan identitas sebagai Islam dan sebagai manusia yang seutuhnya.


“Kita harus menjadi manusia yang memanusiakan manusia. Jangan mau didikte pemikiran orang lain. Jangan asal terbawa arus. Ini penting saat masuk ke abad 21 yang tampaknya akan ada banyak perubahan dan mendasar,” tegasnya.


Banyak pemikiran sosial dari Islam yang bisa dijadikan pijakan. Islam sendiri melihat manusia tidak dari ras maupun strata sosial namun umat yang satu.


“Beriman itu ketika kita bisa lebih baik dari diri kita kemarin,” imbuh Habib Anis.

Sementara itu, Ilyas Arifin, dosen di Universitas Negeri Semarang mengatakan, sekarang ini seolah-olah Islam dibenturkan dengan Pancasila, Islam dibenturkan dengan budaya. Kesempitan berpikir seperti ini terus menyelimuti atmosfer berpikir sebagian kelompok.


Banyak perdebatan tentang perbedaan dalam beragama yang terus terjadi. Padahal perbedaan semacam itu sebenarnya telah ada sejak zaman sahabat Nabi, namun tak pernah menjadi halangan.


“Persoalan kita masih selalu debat tentang musik, ziarah kubur, dan lainnya. Kalau perdebatan hanya soal rumah tangga sendiri bagaimana kita berbicara tentang Islam di kancah global,” kritiknya.


Persoalan semacam itu, diakuinya akan mudah diselesaikan jika setiap umat melanggengkan budaya silaturahim. Hal yang dianggapnya berbahaya adalah jika seseorang datang ke orang lain dan merasa dirinya telah penuh.


“Jika begitu maka tidak akan ada ruang untuk hal baru masuk. Beragama itu tak sebatas puasa, zakat, salat, dan haji saja. Namun ada juga menyenangkan orang lain, membahagiakan orang tua, dan lain sebagainya,” jelas dia.


Prof Saratri Wilonoyudho, seorang narasumber lainnya yang juga merupakan dosen Universitas Negeri Semarang, menambahkan bahwa di antara tanda akhir zaman adalah hilangnya ilmu. Dia mengingatkan betapa pentingnya menjaga sisi akhlak dan moral sehingga bisa menghentikan berbuat kerusakan di muka bumi. 


“Jangan sampai dampak kerusakan itu justru dirasakan oleh anak cucu kita sendiri. Merekalah yang akan mewarisi kerusakan itu,” ujar dia.


Kerusakan itu tak sebatas pada alam saja. Namun di tingkat sosial. Dia mengingatkan betapa bahayanya ghibah dan fitnah yang jelas dilarang dalam Islam, meski ironisnya sekarang merajalela di media sosial.


“Sekarang setiap pihak sudah berani klaim paling benar. Jangan sampai ini menjadi awal Islam dirusak dari dalam. Untuk menghindarinya kita harus menguatkan ketakwaan. Taqwa bisa diwujudkan dengan cinta kasih. Dan itu dilengkapi dengan sikap tawakal. Dengan bertawakal maka akan dicukupkan segala kebutuhan dan memudahkan segala permasalahannya,” kata Saratri.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Kendi Setiawan