Syariah

Hukum Mengqadla Mandi Jumat

Sab, 12 Mei 2018 | 12:15 WIB

Hukum Mengqadla Mandi Jumat

Ilustrasi (Pixabay)

Kesunnahan mandi Jumat ditetapkan berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits Nabi ﷺ:

مَنْ أَتَى الْجُمُعَةَ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ النِّسَاءِ فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ لَمْ يَأْتِهَا فَلَيْسَ عَلَيْهِ غُسْلٌ

“Barangsiapa dari laki-laki dan perempuan yang menghendaki Jumat, maka mandilah. Barangsiapa yang tidak berniat menghadiri Jumat, maka tidak ada anjuran mandi baginya.” (HR Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Baca juga: Tujuh Syarat yang Membuat Seseorang Wajib Shalat Jumat
Disunnahkan melaksanakan mandi Jumat bagi orang yang berniat melaksanakan shalat Jumat, meskipun Jumat tidak diwajibkan baginya. Sehingga kesunnahan mandi Jumat tidak hanya berlaku bagi laki-laki yang wajib melakukan Jumat, namun juga berlaku bagi anak kecil, hamba sahaya, perempuan dan musafir yang berniat menghadiri shalat Jumat, meskipun mereka tidak berkewajiban melaksanakan Jumat.

Waktu pelaksanaan mandi Jumat dimulai sejak terbit fajar shadiq sampai pelaksanaan shalat Jumat. Lebih utama dilakukan menjelang keberangkatan menuju tempat shalat Jumat. Mandi Jumat ini sangat dianjurkan, sehingga meninggalkannya dihukumi makruh, sebab ulama masih berselisih mengenai hukum wajibnya.

Baca juga: Apakah Shalat Jumat bagi Wanita Menggantikan Shalat Dhuhur?
Terkadang seseorang tidak sempat mandi Jumat karena berbagai hal, misalkan waktu yang tidak memungkinkan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana hukum mengqadla (mengganti di waktu yang lain) mandi Jumat baginya?

Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Menurut  pendapat Syekh Ibnu Hajar al-Haitami sebagaimana dikutip murid beliau, Syekh Zainuddin al-Malibari, hukumnya sunnah. Beliau berargumen bahwa anjuran mengqadla mandi Jumat sebagaimana mandi-mandi sunnah lainnya dikarenakan bila seorang muslim mengetahui mandi Jumat bisa diganti dengan qadla, maka akan menjadi motifasi tersendiri baginya untuk rutin melakukannya dan enggan meninggalkannya. 

Syekh Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:

 تنبيه - قال شيخنا يسن قضاء غسل الجمعة كسائر الأغسال المسنونة وإنما طلب قضاؤه لأنه إذا علم أنه يقضى داوم على أدائه واجتنب تفويته

“Peringatan, guruku berkata, disunnahkan mengqadla mandi Jumat sebagimana mandi-mandi sunnah lainnya. Anjuran mengqadla ini dikarenakan bila seseorang mengetahui bahwa mandi Jumat bisa diqadla, maka ia akan rutin melakukannya dan menjauhi dari meninggalkannya”. (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, tanpa tahun, Surabaya, al-Haramain, juz 2, hal 74).

Sementara menurut Imam al-Ramli dan Imam al-Subuki, hukum mengqadla mandi jumat tidak sunnah, sebab waktunya sudah terlewat. Pendapat ini sebagaimana disampaikan Syekh Abu Bakr bin Syatha sebagai berikut:

وما تقرر من قضاء ما ذكر هو ما جرى عليه شيخه حجر  وقال م ر لا يقضى وعبارته ولو فاتت هذه الأغسال لم تقض وسئل السبكي رحمه الله تعالى هل تقضى الأغسال المسنونة فقال لم أر فيها نقلا والظاهر لا لأنها إن كانت للوقت فقد فات أو للسبب فقد زال  

“Apa yang dicetuskan yaitu anjuran mengqadla mandi-mandi di atas adalah pendapat dari guru Syekh Zainuddin, yaitu Syekh Ibnu Hajar. Dan Imam al-Ramli berpendapat tidak disunnahkan mengqadlai. Redaksi dari Imam al-Ramli adalah, apabila mandi-mandi ini terlewat waktunya, maka tidak perlu diqadla. Imam al-Subki ditanya apakah dianjurkan mengqadla mandi-mandi sunnah? Beliau menjawab, saya tidak pernah menjumpai kutipan statemen ulama terdahulu tentang masalah itu. Dan yang jelas menurutku adalah tidak dianjurkan diqadla. Sebab, bila kesunnahan mandi-mandi tersebut didasarkan atas waktu, maka waktu itu sudah terlewat, bila didasarkan atas sebab, maka sebabnya sudah hilang”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin, tanpa tahun, Surabaya, al-Haramain, juz 2, hal 74)

Demikian penjelasan mengenai hukum mengqadla mandi Jumat, boleh memilih di antara dua pendapat di atas, dengan tetap saling menghormati kepada pihak yang tidak sepandangan. Semoga bermanfaat. (M. Mubasysyarum Bih)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua