Sidoarjo, NU Online Jatim
Politik menjadi suatu hal yang tidak aing di telinga Nahdliyin. Tidak hanya soal politik praktik, namun lebih dari itu juga berpolitik guna membawa kebermanfaatan bagi umat. Untuk itu, Katib Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Afifuddin Dimyati atau Gus Awis mengulas sejumlah prinsip politik yang termaktub dalam Al-Qur’an.
“Prinsip-prinsip politik dalam Al-Qur’an tersebut terkandung pada Surah An-Nisa ayat 58-59,” terang Gus Awis saat menjadi narasumber sarasehan ‘Fiqih Kebangsaan’ dalam rangka memperingati Haul KH Bisri Syansuri ke-43, Nyai Hj Noor Chodijah ke-73, dan Hari Lahir Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif, Denanyar, Jombang ke-107, Sabtu (29/01/2022).
Pertama, adalah memegang amanah. Kedua, menetapkan hukum dengan adil, dan ketiga, adalah ketaatan. Sedangkan yang keempat kembali kepada petunjuk Allah dan Rasulullah.
“Sengaja tidak saya sebut kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist. Nanti seperti mereka (Wahabi) beda,” ujarnya.
Kelima, adalah tegas terhadap penghianatan. Karena seorang pemimpin itu harus tugas, seperti Nabi Muhammad SAW yang pernah mengusir orang Yahudi karena membantu kaum musyrik Makkah.
“Kenapa Yahudi membela Makkah? Jadi, Yahudi itu di Madinah tetapi membela Makkah. Karena kaum musyrik Makkah membantu ekonomi kaum Yahudi,” ungkapnya.
Kalau Makkah hancur, lanjut Gus Awis, maka secara otomatis ekonomi Yahudi akan terganggu. Sehingga, saat itu Yahudi mempunyai kepentingan untuk memenangkan Makkah, supaya ekonomi mereka yang menguasai Hijaz tidak terganggu oleh umat Islam.
“Nabi melihat ini adalah sebuah pengkhianatan. Karena sudah ada piagam Madinah yang menyebutkan saling menjaga di Kota Madinah. Jadi, sikap berani melawan pengkhianatan seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW ini perlu dilakukan seorang pemimpin,” tegasnya.
Menurut pakar tafsir Al-Qur'an ini, prinsip yang keenam adalah mengalah untuk menang. Sementara ketujuh, mengutamakan diskusi dari pada konfrontasi. “Prinsip-prinsip politik yang demikianlah yang dicontohkan Rasulullah SAW,” ungkapnya.
Hal tersebut penting dilakukan karena kekuasaan itu mutlak hanya milik Allah SWT. Tidak ada seorangpun yang berhak mengaku sebagai orang yang paling berkuasa.
“Artinya tokoh-tokoh diktator seperti Fir’aun yang menghendaki semua menyembah dirinya itu tidak mendapat legalitas di dalam Al-Qur’an,” katanya.
Menurut Gus Awis, yang menjadi cita-cita perjuangan yang dimaksud di sini adalah memiliki kekuasaan yang tidak berbasis dengan ego. Dalam pemaknaan Gus Awis, ego yang dimaksud ialah hawa nafsu.
“Jadi berkuasa itu tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Sehingga kerangkanya jelas, bahwa kekuasaan tidak mutlak,” pungkasnya.
Terpopuler
1
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
2
Ulama Sufi Dunia Syekh Muhammad Hisham Kabbani Wafat dalam Usia 79 Tahun
3
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
4
Ricuh Aksi Free West Papua, PWNU DIY Imbau Nahdliyin Tetap Tenang dan Tak Terprovokasi
5
Khutbah Jumat: Meraih Keselamatan Akhirat dengan Meninggalkan 6 Perkara
6
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
Terkini
Lihat Semua