Jateng

Penetapan Awal Bulan Hijriah Mengikuti Logika Hilal, Bukan Waktu

Jum, 7 Juni 2024 | 18:30 WIB

Penetapan Awal Bulan Hijriah Mengikuti Logika Hilal, Bukan Waktu

Kegiatan Rukyatul Hilal di Planetarium UIN Walisongo Semarang, Jumat (7/6/2024). (Foto: NU Online Jateng/Saiful Amar)

Semarang, NU Online

Kepala Planetarium dan Observatorium Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah, Ahmad Syifaul Anam, menyampaikan bahwa penetapan awal bulan Hijriah dengan logika hilal, bukan logika waktu.


“Logika hari raya tidak selalu mengikuti logika waktu, tetapi logika hilal,” kata Syifaul Anam saat memberikan penjelasan pada Rukyatul Hilal di Planetarium dan Observatorium UIN Walisongo, Jumat (7/6/2024) dikutip NU Onine Jateng.


Anam menjelaskan hal tersebut mengingat orang banyak yang masih bingung dengan Makkah yang kerap menjalani hari raya lebih dahulu ketimbang Indonesia. Padahal secara geografis, Indonesia berada di wilayah lebih timur ketimbang Makkah.


Logika hilal, katanya, berbeda dengan logika waktu. Sebab, hilal memiliki perilaku yang berbeda. Makkah memang lebih barat daripada Indonesia dengan selisih waktu 4 jam. Maka, jika di Indonesia sudah Maghrib, maka di Makkah masih siang.

 

Namun, hilal semakin ke barat, dia akan mempunyai selisih setengah derajat setiap satu jam. Ia mencontohkan, jika di Indonesia 0 derajat hilalnya, dengan asumsi selisih 4 jam, maka di Makkah hilalnya sudah setinggi 2 derajat.


“Asumsi sederhananya begitu. Maka kemudian di kita belum wujud, tetapi di Makkah sudah 2 derajat. Dimungkinkan melihat. Maka jelas Makkah akan mengawali bulan hijriah lebih dahulu ketimbang Indonesia,” ujarnya.


Dalam kasus bulan Dzulhijjah 1445 H kali ini, ia menyampaikan ada kemungkinan perbedaan hari raya Idul Adha antara di Arab Saudi dan di Indonesia. Hal ini mengingat ijtimak atau konjungsi sudah terjadi kemarin di Arab dan hilalnya terobservasi.

 

“Di Arab jauh lebih tinggi, bahkan kemarin sudah melihat,” katanya.


Sementara di Indonesia sendiri, ia menyampaikan bahwa tidak akan terjadi perbedaan mengingat ketinggian hilal tersebut. “Kita insyaallah tidak akan ada perbedaan di Indonesia,” katanya.


Sebagai informasi, hilal pada 29 Dzulqa’dah 1445 H ini sudah di atas ufuk, yakni +9 derajat 16 menit 26 detik dengan elongasi 12 derajat 43 menit 37 detik dan lama hilal di atas ufuk 42 menit 52 detik untuk titik Jakarta dengan markaz Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164 Jakarta. Data tersebut dikeluarkan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Ahad (2/6/2024).


Sementara ketinggian hilal di Kota Semarang, Jawa Tengah berdasarkan data falakiyah PBNU mencapai 9 derajat 03 menit dengan elongasi 12 derajat 42 menit dan lama hilal di atas ufuk 42 menit 21 detik.


Adapun berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, ketinggian bulan mencapai 8 derajat 29,65 menit. Matahari terbenam pada 17.29.01 WIB sedangkan bulan terbenam pada pukul 18.13.17 WIB atau lama hilal sekitar 44 menit 16 detik.


Sementara konjungsi di Semarang terjadi pada Kamis Wage, 6 Juni 2024 pukul 19.37.35 WIB berdasarkan data dari BMKG.


Data-data di atas menunjukkan bahwa hilal sudah di atas kriteria imkan rukyah, yakni ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Bahkan, hilal pada penghujung Dzulqa’dah 1445 H juga telah memenuhi kriteria qath’iy rukyah, yakni elongasi 9,9 derajat.


Oleh karena itu, hampir bisa dipastikan bahwa 1 Dzulhijjah 1445 H akan jatuh pada Sabtu Legi, 8 Juni 2024. Dengan begitu, Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1445 H akan bertepatan dengan Senin Kliwon, 17 Juni 2024.
 

Pewarta: Syakir NF